Minggu, 31 Maret 2013

TIPOLOGI ARSITEKTUR LOBO


      Lobo merupakan salah satu bangunan adat Sulawesi Tengah. Bangunan Lobo ini terdapat di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi. Saat ini Lobo masih tetap difungsikan di beberapa desa. Desa-desa tersebut antara lain di desa Toro, desa Namo, desa Tuva, dan desa Boladangko. Adapun Tipologi dari masing-masing lobo yang ada pada beberapa desa tersebut sedikit berbeda. 
rumah adat lobo
     Dalam tulisan ini, hanya akan di paparkan tipologi bangunan Lobo yang terdapat di desa Toro, Kecamatan Kulawi, Propinsi Sulawesi Tengah. Lobo di desa Toro ini adalah salah satu Lobo tertua yang masih ada hingga saat ini.
     Telah dijelaskan berbagai hal mengenai Lobo pada tulisan sebelumnya di Liputan Arsitektur Bangunan Adat Lobo. Sekarang akan dibahas mengenai Tipologi Bangunan Lobo.

Tipologi Bangunan Lobo


TANGGA LOBO

tangga lobo


• Jumlah tangga satu buah

• Jumlah anak tangga lima buah
• Tangga dari batang kayu bulat yang dipahat
• Pada bagian atas mengecil
• Posisi tangga di tengah bagian depan



Catatan :

Lobo yang dibangun sebelumnya (pada tahun 1908) memiliki dua buah tangga yang menurut kepercayaan masyarakat setempat 
salah satunya difungsikan sebagai jalan masuk mahluk halus.




Berbeda halnya dengan lobo yang didirikan pada tahun 1991 

tinggal terdapat satu buah tangga, disebabkan masuknya pengaruh agama.





ATAP LOBO

atap interior lobo atap eksterior lobo

• Menggunakan atap sirap yang terbuat dari bahan kayu yang dibelah kecil

• Bahan atap terbuat dari kayu (alipa’a)
• Bagian yang dilapisi ijuk hanya pada bagian – bagian pinggir atap (panapiri)



LANTAI LOBO

lantai lobo lantai lobo

Lantai Bawah (Daula)

• Pada lantai bawah menggunakan material papan
• Tidak menggunakan paku, hanya menggunakan balok untuk menjepit papan
• Ditengah perkembangannya lantai lobo akhirnya menggunakan paku 
• Lebar papan yang digunakan 25 cm
• Luas lantai 660 x 520 cm



Lantai Atas (Tuha Kanavaria)

• Material yang digunakan terbuat dari kulit kayu pohon nibun
• Pengikatnya menggunakan rotan
• Lebar tuha kanavaria 140 cm



DINDING LOBO

dinding lobo dinding lobo

Dinding Bawah

• Material yang digunakan berupa kayu bulat yang disusun sebanyak dua buah
• Sebagai pengikatnya menggunakan rotan
• Tinggi dinding bawah 50 cm
• Panjang dinding kiri depan 210 cm  
• Panjang dinding samping kiri dan kanan 530 cm 
• Panjang dinding belakang 840 cm



Dinding Atas

• Material yang digunakan adalah papan yang dibilah – bilah 
• Sebagai pengikatnya juga menggunakan rotan
• Tinggi dinding atas 50 cm
• Panjang dinding kiri depan 380 cm
• Panjang samping kri dan kanan 765 cm
• Panjang dinding belakang 110 cm
• Sebagai penutup dinding atas terdapat kayu bulat yang berfungsi sebagai 
penahan tangan orang yang duduk dan dinamakan “rindinukeke



ORNAMEN LOBO

ragam hias lobo

Pada desa Toro, ornamen hanya terdapat pada tiang tengah bangunan sebagai simbol bahwa jika ada yang melakukan pelanggaran dan harus menerima hukuman, 

dapat diganti dengan cara membayar denda seekor kerbau.










TIANG LOBO

tiang lobotiang lobo

• Bentuk tiang secara keseluruhan yaitu lingkaran.

• Terdapat perbedaan dimensi antara tiang tengah dan tiang pinggir/tepi.
• Struktur tiang tidak menerus ke tanah hanya sampai pada lantai, 
• Tiang berdiri di atas pondasi yang disusun berupa kayu secara bersilangan



• Struktur tiang pada terdiri dari balok jepit yang diikat dengan rotan.

• Dimensi tiang tengah yaitu berdiameter ± 20 cm.
• Dimensi tiang pinggir ± 15 cm.
• Tinggi tiang 3 m dari lantai dan balok jepit.


sambungan tiang lobo


Tampak sambungan tiang dan balok dalam struktur atap yang terdapat pada bagian tepi, dengan menggunakan rotan  yang berlapis-lapis sebagai pengikatnya.



Sekian tulisan mengenai Tipologi Arsitektur Lobo. Semoga Dapat Bermanfaat.

http://kakarmand.blogspot.com

Jalan Gimpu-Gintu Bisa Direalisasikan


Walau beritanya sudah beberapa bulan lalu, setidaknya bisa mengingatkan kembali...


SIGI- Keinginan masyarakat Kulawi sehubungan dengan percepatan aksesibilitas di wilayah mereka bisa terealisasi. Keinginan yang mereka komunikasikan melalui wadah Perhimpunan Masyarakat Kulawi (PMK) tersebut, mendapat jawaban baik dari Gubernur Sulawesi Tengah, Drs H Longki Djanggola MSi.

PMK dalam aspirasinya yang disampaikan usai pelaksanaan adat Potapahi Ngata di Desa Boladangko, Kecamatan Kulawi, Sabtu lalu (20/10/12), meminta pemerintah membuka akses jalan di beberapa wilayah di Kecamatan Kulawi seperti jalur Gimpu-Gintu, Gimpu-Peana-Kalamanta, hingga Kulawi-Towulu-Banggaiba.

Merespons aspirasi tersebut, Gubernur turut menjelaskan panjang lebar. Dia mengakui, persoalan jalur Gimpu sudah selalu menjadi amatannya sebelum dirinya menjadi gubernur seperti saat ini. “Saya masuk dari Jakarta tugas di Palu saya sudah tahu jalan Kulawi-Gimpu itu sudah ada, kemudian itu sampai sekarang tidak terus-terus, saya pun ikut bertanya-tanya kenapa jalan itu tidak terus bahkan diberhentikan paksa, waktu itu kalau tidak salah oleh beberapa NGO,” ujar Gubernur.

Alasan pemberhentian paksa oleh NGO yang enggan disebutkannya detail tersebut, juga diakui masih diingatnya yakni terkait alasan keberadaan hutan lindung. Alasan inilah yang sampai sekarang masih sering menjadi kendala mengapa pemerintah belum bisa merealisasikan, berbagai rencana pembukaan jalan di beberapa wilayah di Kabupaten Sigi dan Poso yang memang menjadi basis lahan kawasan ini.
Jadi, tegas Gubernur, persoalannya bukan pada keengganan pemrintah provinsi maupun daerah untuk menganggarkan rencana pembukaan lahan jalan yang ada, tetapi kendala pada aturan kehutanan.

“Gimpu-Gintu bisa direalisasikan, termasuk Peana-Kalamanta. Tolong aspirasi itu dibuatkan secara tertulis pada kami dari semua komponen masyarakat agar ini betul-betul menjadi landasan kami untuk berbicara ke tingkat yang lebih tinggi,” katanya.
Longki mencontohkan kasus jalan Sadaunta-Lindu pasca terjadinya gempa Sigi Agustus lalu. Selama ini, jalur tersebut sama sekali tidak bisa dibuka karena status hutan lindung yang menaunginya. Namun hal tersebut tidak bisa lagi dipertahankan, manakala alasan kemanusiaan menjadi taruhannya.

“Dengan segala macam risiko dan saya mohon izin dari semua teman-teman dari berbagai unsur, saya pamit kepada menteri kehutanan saya harus membuka jalan itu untuk kepentingan kemanusiaan. Dan itu pula akhirnya direstui karena memang untuk kepentingan kemanusiaan,” jelas Longki.
Sehingga saat ini jalan Sadaunta Lindu bisa digunakan meskipun dengan ketentuan jarak yang diberikan selebar 4 meter saja. Jalur tersebut dipastikan digunakan untuk kemudahaan akses kemanusiaan untuk masyarakat Lindu, dan tidak digunakan untuk kepentingan lain. “Jadi kalau misalnya ada masyarakat yang nakal yang menggunakannya untuk illegal logging, maka saya minta maaf saya nyatakan saya akan tutup kembali jalan itu, karena saudah keluar dari ikrarnya,” tegasnya. Hal tersebut, tambahnya lagi berani diungkapkannya, karena jaminan tersebut juga datang dari semua tokoh masyarakat di Lindu  pada waktu itu.

Longki mengingatkan kembali, agar kesempatan ini dapat diseriusi oleh semua elemen masyarakat Kulawi dengan segera membuatkan pernyataan secara tertulis bahwa pembukaan jalan di wilayah-wilayh tersebut pun tidak akan merusak kawasan-kawasan terlindungi disekitarnya. “Sehingga pemerintah pusat pun insya Allah akan memberikan izin itu untuk kita manfaatkan bagi perbaikan jalan,” kata Longki.
(http://www.radarsulteng.co.id/index.php/berita/detail/Rubrik/50/5360)

SUKU WINATU, KULAWI



Suku Winatu (To Winatu), adalah salah satu suku asli yang terdapat di provinsi Sulawesi Tengah.

Suku Winatu ini berbicara dalam bahasa Uma. Bahasa Uma digunakan oleh beberapa suku yang termasuk dalam kelompok Kulawi, seperti Kulawi, Kantewu, Kalamanta, Siwongi dan Winatu. Bahasa Uma yang diucapkan oleh suku Winatu ini disebut juga sebagai bahasa Winatu atau bahasa Uma dialek Winatu. Sedangkan menurut Walter Kaudern, mengelompokkan suku Winatu ini ke dalam kelompok Koro Toraja.

Seperti suku Kantewu, suku Winatu juga penganut agama Kristen. Agama Kristen masuk dan berkembang ke wilayah ini dibawa dan diperkenalkan oleh seorang misionaris dari Eropa yang bernama Leonard Woodward.

Sekitar tahun 1960, pemerintah setempat memindahkan pemukiman suku Winatu dari desa Lonca dan desa Winatu kecamatan Kulawi kabupaten Donggala melalui proyek transmigrasi lokal ke dataran Lindu. Mereka ditempatkan di sebuah desa baru yang sengaja dibangun, yakni desa Puroo. Terakhir penduduk suku Winatu justru terbanyak berada di di dusun Kangkuro desa Tomado.

Asal usul orang Winatu sendiri belum dapat dijelaskan secara pasti, tapi ada suatu cerita rakyat yang menceritakan tentang daerah pertama yang dihuni oleh suku Winatu.
anak-anak Winatu
  1. Dalam sebuah mitos dikisahkan tentang sebuah desa bernama desa Toro, tempat ini dahulunya dihuni oleh orang Winatu. Pada jaman dulu di tempat ini terdapat tiga pemukiman yang dihuni oleh orang Winatu. Ketiga pemukiman ini berada di atas gunung yang saling bersebelahan, yaitu di Kaumuku, Pobailoa dan Mungkulelio. Namun, ketiga pemukiman ini akhirnya hancur dan penduduknya tercerai berai ketika terjadi bencana alam banjir besar yang menenggelamkan daerah tersebut.

Masyarakat suku Winatu, pada umumnya telah hidup pada bidang pertanian. Beberapa tanaman telah ditanami mereka di sekitar pemukiman mereka. Padi, ubi dan jagung merupakan tanaman utama mereka. Selain itu mereka juga memanfaatkan hasil hutan seperti mengumpulkan rotan, damar, serta berburu binatang liar di saat tidak ada kegiatan. (http://protomalayans.blogspot.com)

SUKU UMA, PIPIKORO

 

pemukiman suku Uma Pipikoro
pic: citizenimages kompas
Suku Uma (Uma Pipikoro), adalah suatu komunitas adat masyarakat yang mendiami daerah di Pipikoro yang berada di daerah pegunungan di tepi sungai Koro kecamatan Kulawi kabupaten Donggala provinsi Sulawesi Tengah. Populasi suku Uma ini diperkirakan sebesar 28.000 orang pada sensus tahun 1999.

Sekelompok masyarakat suku Uma pada beberapa puluh tahun yang lalu bermigrasi ke Gimpu dan lembah Palolo, Palu dan Pani'i, kira-kira 120 km dari kota Palu dan juga bermukim di kabupaten Luwu provinsi Sulawesi Selatan. Sekelompok lain bermigrasi ke wilayah Sulawesi Selatan. suku Uma juga terdapat di kabupaten Luwu Sulawesi Tengah dan sebagian kecil di Benggalau Sulawesi Selatan.

klasifikasi: Austronesia, Malayo-Polynesia, Malayo-Polynesia, Sulawesi, Sulawesi Tengah, Barat Tengah, Kaili-Pamona, Kaili, Uma

Suku Uma ini digolongkan sebagai subfamili dari suku Kaili-Pamona. Suku Uma berbicara dalam bahasa Uma, yang memiliki beberapa dialek, tergantung wilayah pemukiman suku Uma, yaitu:
  • Winatu (Uma Utara)
  • Tobaku (Uma Barat, Dompa, Ompa)
  • Tolee (Uma Timur)
  • Kantewu (Uma Tengah)
  • Aria (Uma Selatan)
  • Benggaulu (Bingkolu)
  • Bana (Sulawesi Selatan)
gadis suku Uma
pic: joshuaproject
Suku Uma sebagian besar adalah pemeluk agama Kristen, terutama yang bermukim di wilayah Sulawesi Tengah, sedangkan yang bermukim di Sulawesi Selatan memeluk agama Islam.
Masyarakat suku Uma sebagian besar adalah sebagai petani. Mereka menanam beragam jenis tanaman, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Termasuk menanam padi di sawah dan beberapa tanaman keras lain. Beberapa hewan ternak juga menjadi pilihan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

ORANG MARENA


Orang Marena (To Marena), adalah suatu komunitas masyarakat yang terdapat di dusun Marena sebuah dusun jauh dari desa Bolapapu kecamatan Kulawi kabupaten Sigi provinsi Sulawesi Tengah. Populasi orang Marena lebih dari kurang lebih 250 orang.

orang Marena
Orang Marena saat ini banyak bermukim di desa O'o Parese sekitar 18 km dari desa Bolapapu. Di tempat ini mereka membuka kebun untuk lahan pertanian. Pada tahun 2007 pemerintah setempat memasukkan desa O'o Parese menjadi bagian kecamatan Kulawi Selatan. Tapi orang Marena menolak bergabung dengan kecamatan Kulawi Selatan, dikarenakan pada umumnya di kecamatan Kulawi Selatan dihuni oleh etnis Uma. Akhirnya orang Marena kembali ke desa Bolapapu kecamatan Kulawi yang beretnis Moma sebagai asal usul nenek moyang mereka walaupun untuk pelayanan administrasi sangat jauh.
Orang Marena memiliki sistem pemerintah adat sendiri, yaitu:
  • Maradika (Kepala Kampung), mengatur hubungan ngata (kampung) dengan ngata lain yang disebut ”Hintuwu Ngata”, Menentukan perang dengan ngata lain, tempat pengambilan keputusan terakhir.
  • Totua Ngata, mengatur dan mengawasi aturan adat yang disepakati dalam musyawarah, Memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat, menentukan besar kecilnya sanksi adat atas pelanggaran, memimpin sidang menyangkut penyelesaian perselisihan pada tingkat dusun atau kampung, mengatur pelaksanaan perkawinan adat serta menentukan besar kecilnya mas kawin menurut keturunan dari keluarga yang bersangkutan.

Orang Marena punya cara sendiri dalam mengelola wilayah kehidupannya. Mereka menyebut istilah wilayah kehidupannya dengan sebutan huaka. Jadi Huaka To Marena itu berarti wilayah kehidupan orang Marena. Sedangkan pengelolaan sumberdaya alam dalam bahasa local disebut katuvua. Terkait dengan huaka dan katuvua ini, orang Marena punya tata cara pembagian wilayah dan pemanfaatannya secara tradisional. Orang Marena membagi wilayah kehidupannya dalam beberapa kategori wilayah, antara lain: Wana Ngkiki, Wana, Pangale dan Oma.
  • Wana Ngkiki yaitu kawasan hutan yang terletak dipuncak-puncak gunung, bersuhu dingin, ditumbuhi lumut, jauh dari pemukiman dan tidak ada aktivitas manusia di dalamnya.
  • Wana yaitu hutan rimba yang luas dan tutupannya rapat. Pada tingkatan ini tidak ada aktivitas manusia untuk membuka ladang atau kebun, karena kalau dibuka menurut pengetahuan tradisionalnya dapat mengakibatkan bencana kekeringan karena Wana ini adalah hutan primer yang menyangga dan menjaga ketersedian air.
  • Pangale yaitu hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale termasuk kategori hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer karena sebagian sudah ada aktivitas manusia atau telah diolah menjadi ladang. Pangale dipersiapkan untuk kebun dan daerah datarannya untuk persawahan. 

    Pangale ini dimanfaatkan juga untuk: 
    • Mengambil kayu dan rotan yang digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga,
    • Pandan hutan dipergunakan untuk membuat tikar dan bakul,
    • Obat-obatan untuk perawatan kesehatan,
    • Wewangian
    • Umbut dan daun melinjo untuk sayuran.
  • Pahawa Pongko yaitu hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan yang berumur 25 tahun ke atas. Sudah hampir menyerupai hutan sekunder semi hutan primer (pangale), pohon-pohonnya sudah tumbuh besar. Karena itu kalau dibuka kembali menjadi ladang untuk menebangnya sudah harus menggunakan pongko (tempat menginjakan kaki yang terbuat dari kayu) yang agak tinggi dari tanah agar dapat menebang dengan baik sama seperti mopangale(membuka hutan pangale), agar dari tonggak pohon yang ditebang tadi diharapkan dapat tumbuh tunas kembali sehingga sesuai dengan namanya yaitu pahawa pongko. Pahawa artinya ganti, sedangkan pongko artinya tangga atau tempat menginjakkan kaki pada waktu menebang.
  • Oma yaitu hutan bekas ladang atau kebun yang sering diolah pada tingkatan ini disebut oma dimanfaatkan untuk menanam kopi, kakao dan tanaman tahunan lainnya. Berdasarkan umur dan pemanfaatannya tingkatan oma ini dibagi menjadi:
    • Oma Ntua
    • Oma Ngura
    • Oma Ngkuku
    • Oma Balingkea

Orang Marena mengelola alam secara bijaksana, tidak mengekspoitasi habis-habisan sumber hutan, tetapi tetap merawatnya. Mereka bertanggungjawab menjaga alam yang kelak akan diwariskan kepada keturunan-keturunannya.

Dalam masyarakat Marena memiliki penjaga kampung atau tondo boya yang berperan menjaga hutan Marena. Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat mereka maupun dari orang luar akan dikenakan sanksi adat.
Orang Marena mayoritas memeluk agama Kristen. Agama Kristen berkembang dengan baik di kalangan masyarakat Marena. Beberapa bangunan gereja berdiri di dekat sekolah dasar di Marena. 
Mereka memiliki Bantaya, yaitu semacam rumah tempat pertemuan, yang biasanya diadakan apabila ada acara pertemuan bagi warga kampung.

Belakangan ini beberapa wilayah hutan orang Marena ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat masuk dalam bagian kawasan Taman Nasional Lore Lindung. Hal ini membuat mereka semakin terdesak, karena sebagian besar dari mereka memanfaatkan hasil hutan.

Orang Marena pada dasarnya hidup pada bidang pertanian, mereka membuka lahan kebun untuk menanam padi ladang, jagung, kopi, kakao, kayu manis dan tanaman lainnya. Tanaman produksi yang paling utama bagi mereka adalah kakao. Sedangkan dari hutan mereka mengambil rotan dan kayu sebagai bahan bangunan atau yang mereka sebut sebagai ramuan rumah. (http://protomalayans.blogspot.com)

PAKAIAN ADAT DARI KULIT KAYU



PAKAIAN ADAT DARI KULIT KAYU
(Khas Etnik Kulawi di Sulawesi Tengah)

A. Pengertian dan Asal Usul

Benda yang berupa pemukul kulit kayu ditemukan pada penggalian di padang Tampeura Desa Langkeka Kecamatan Lore Selatan Kabupaten Poso, menunjukan bukti bahwa sejak zaman Prasejarah teknologi tradisional kain dari kulit kayu telah dimulai di daerah Sulawesi Tengah.
Sekarang, teknologi tradisional kain dari kulit kayu masih berkembang di masyarakat Sulawesi Tengah terutama pada etnik Kaili dan Kulawi. Teknologi tradisional ini digunakan untuk keperluan upacara adat yang berkaitan dengan religi dan kepercayaan.
Keragaman etnik di Sulawesi Tengah dapat dilihat dari pakaian, makanan khas, upacara sejak lahir hingga meninggal dunia, perumahan dan sebahagian dibedakan pula oleh bahasa (logat). Dari perbedaan itu, maka di Sulawesi Tengah terdapat 12 (dua belas) kelompok etnik (suku bangsa) yang tersebar di 9 (sembilan) Kab./Kota, yaitu; etnik Kaili, Tomini, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Banggai, Saluan, Balantak, Tolitoli dan Buol. (Sumber : Masyhuda, H.M. Palu Meniti Zaman. Hal. 13-14. Palu : YKST. 2001)
Untuk kepentingan ini, dipilih etnik Kulawi sebagai pelaku teknologi tradisional kain dari kulit kayu yang dijadikan sebagai Pakaian Adat, berkaitan dengan religi dan kepercayaan.
Menurut Paulus Tampinongo (69 thn), mantan Penilik Kebudayaan Kandepdikbud Kecamatan Kulawi Propinsi Sulawesi Tengah, Senin (17/11/2003) menjelaskan, “Kalau kita melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Kulawi, pemakaian kain dari kulit kayu telah ada sejak manusia berada di Kulawi ini pada zaman Prasejarah”.
Lanjutnya, “ada pendapat beberapa ahli, misalnya Dr. Kruyt mengatakan bahwa suku Kulawi dikelompokkan dalam suku Toraja Barat. Sementara pendapat Drs. Indra B. Wumbu dan alm. Masyhuddin H. Masyhuda, mengelompokkan suku Kulawi ini adalah suku Kaili. Pendapat terakhir bahwa suku Kulawi adalah asimilasi perkawinan dari perpindahan penduduk secara besar-besaran di Gunung Momi. Ada yang lari ke arah barat melalui Hindia belakang, tembus ke Sumatra, Jawa kemudian Makassar. Ada yang lari ke Timur mulai dari Jepang, Filiphina, Sanger Talaud, Manado, Gorontalo kemudian Palu dan Poso. Jadi yang datang dari Utara dan datang dari Selatan melalui sungai Sa’dang terjadilah asimilasi perkawinan antara dua suku tersebut. Dari hasil perkawinan ini, itulah yang disebut suku Kulawi”.
Kesimpulannya adalah, “sejak zaman perpindahan secara besar-besar atau sebelum mereka datang, penduduk asli Kulawi telah memproses kulit kayu untuk dijadikan bahan pakaian yang disebut orang Kulawi pada umumnya, Nunu”.
Pada perkembangan selanjutnya, “untuk membedakan strata sosial masyarakat Kulawi dapat dilihat dari pemakaian busana bawahan wanita (rok). Kalau dalam pemakaian sehari-hari busana tersebut bersusun dua, sementara dalam pemakaian upacara adat ia dibuat bersusun tiga. Dari sini dapat dilihat strata sosial di masyarakat Kulawi”, ungkap sumber dikediamannya.¯

Untuk Lebih lengkap sebagai bahan Referensi silahkan kunjungi : http://ichsan70.blogspot.com/2010/09/pakaian-adat-dari-kulit-kayu.html

CERITA RAKYAT " TERBENTUKNYA DANAU LINDU"


Dikisahkan bahwa suatu hari kapal yang membawa Sawerigading sepulang dari perjalanan ke tanah China untuk mengawini tunangannya We Cudai berkunjung ke laut kaili. Saat itu di tanah kaili terdapat beberapa kerajaan lokal yang berdaulat mulai dari Banawa, Bangga hingga Sigi. Setelah berkunjung ke Ganti, ibu kota kerajaan Banawa, Sawerigading berlayar ke arah selatan menuju pantai negeri sigi-pulu, dalam wilayah kerajaan sigi. Perahu Sawerigading berlabuh dipantai Uwe mebere, yang sekarang ini bernama Ranaromba. 

Kerajaan sigi dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ngginayo atau Ngilinayo yang berparas cantik dan namun belum menikah. Sawerigading terpikat oleh kecantikannya dan langsung mengajukan pinangannya untuk menjadikannya permaisuri, untuk memenuhi permintaanya Ngginayo mensyaratkan agar ayam aduan sawerigading yang bernama Baka Cimpolong terlebih dahulu mengalahkan ayam aduan raja sigi yang bernama Calabai, syarat itu disetujui Sawerigading , sehingga disepakatilah suatu waktu untuk menggelar upacara adu ayam sekembali dari kunjungan sawerigading kepantai barat, sambil di persiapkan arena (wala-wala) adu ayam.

Dipantai barat perahu Sawerigading berlabuh dipantai kerajaan Bangga, yang dipimpin oleh raja Wambulangi seorang perempuan yang bergelar Magau Bangga.dengan magau Bangga Sawerigading mengikat perjanjian persahabatan.
Setelah kunjungan ke bangga Saweri Gading kembali ke Sigi. Dalam perjalanan itu Sawerigading singgah di sebuah pulau kecil Bugintanga (pulau tengah), untuk menambatkan perahunya ia menancapkan sebatang tonggak panjang (Tokong –bgs-) ketika meninggalkan pulau itu Sawerigading tidak mencabut Tonggak itu, sehingga bertumbuhlah dan sampai kini dipercaya oleh penduduk sebagai kebangga atau bululanga yang terletak di kampung kaleke.

Di Sigi persiapan pertarungan sudah diselesaikan, sebuah gelanggang (wala-wala) sudah di sediakan bagi baka cipolong dan calabai, para penduduk juga sudah mendengarkan dan bersiap untuk menyaksikan pertarungan yang akan digelar kesekan paginya, namun diluardugaan, satu malam sebelum upacara dimulai, tersiar kabar, yang mengharuskan pertarungan itu dibatalkan.

Anjing Sawerigading yang digelar La Bolong (si Hitam -bgs-) diam-diam turun dari perahu, untuk berjalan-jalan di dataran Sigi. Tanpa di sadarinya ia berjalan terlalu jauh ke selatan hingga kemudian terperangkap kedalam sebuah lubang yang besar tempat kediaman se ekor Lindu (belut) yang sangat besar. Karena merasa terganggu dengan kedatangan anjing La Bolong yang tiba-tiba itu maka si Lindu menjadi marah dan menyerang La Bolong sehingga terjadilah pertarungan yang amat sengit antara keduanya. Sedemikian dahsyatnya pertarungan itu sehingga seolah-olah menimbulkan gempa yang menggetarkan bumi, penduduk pun menjadi panik dan ketakutan dibuatnya. Pada satu kesempatan La Bolong berhasil menyergap Lindu itu dengan taring-taringnya, kemudian dengan cengkeraman mulutnya ia menyentakan dan menarik sang Lindu hingga tercabut dari lubangnya. Sejenak kemudian La Bolong menyeret dan melarikan belut yang meronta-ronta itu ke arah utara.

Sementara itu, lubang tempat tinggal Lindu yang telah menjadi kosong dengan cepat terisi air, Sehingga lama kelamaan menjadi penuh dan meluap-luap, menggenangi daerah sekitarnya sampai akhirnya membentuk sebuah danau yang saat ini dikenal sebagai danau Lindu.
Demikian riwayat danau Lindu yang dikutip dari legenda Sawerigading, sebagaimana penuturan Matulada dalam bukunya sejarah dan kebudayaan To Kaili. Dibandingkan dengan penuturan Paulus Tampilangi, salah seorang tokoh Lindu pada tahun 2001, mitos pembentukan danau Lindu sedikit berbeda, meskipun alur ceritanya memiliki beberapa kemiripan sbb,

Di kisahkan, pada jaman dahulu kala dataran disekitar Lindu belum menjadi tempat tinggal manusia karena pada umumnya masyarakat pada saat itu memilih untuk tinggal di lereng-lereng gunung, maupun punggung-punggung bukit dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar-pencar, di Lantawongu, Katapia, Watureo, Sindimalei Lindu Tongoa dan Sandipo.
Beberapa jarak dibawah kaki gunung mapun bukit-bukit itu terdapat dataran, yang digenangi air sehingga membentuklah suatu rawa yang sangat luas. Di rawa itu hidup seekor Lindu atau belut yang sangat besar ukurannya. Selain besar Lindu, dikisahkan bahwa Lindu itu sangat buas. Ia menyerang dan memangsa hewan apa saja bahkan manusia yang dijumpainya disekitar rawa. Itulah sebab tidak seorangpun yang masyarakat pada saat itu yang berani datang apalagi bermukim tepian rawa.

Lindu itu hidup bak raja di daerah rawa yang maha luas itu, tidak henti-hentinya ia memangsai hewan-hewan hutan yang datang untuk minum dipinggiran rawa, tidak jarang manusia yang tersesat kedaerah rawapun dijadikannya santapannya, sehingga lama kelamaan jumlah anggota masyarakat yang menjadi mangsa Lindu menjadi banyak dan terus menerus bertambah banyak, sehingga mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat Lindu.
Keresahan yang menumpuk mulai menimbulkan ketakutan yang menghantui seluruh masyarakat pada saat itu. Keadaan ini mendorong totua maradika, ngata dan todea berkumpulah di suatu tempat untuk menyelenggarakan musyawarah (Mo Libu), dalam musyawarah itu para tokoh merundingkan cara untuk membunuh Lindu yang jahat itu.

Dikisahkan bahwa jalannya musyawarah berlangsung alot, silang pandapat terjadi antara para tokoh yang menghendaki agar setiap pemukiman mengirimkan sepuluh orang terkuatnya untuk membunuh lindu itu dengan para Tokoh yang mengusulkan untuk meminta bantuan ke keluarga mereka di Kerajaan Sigi, dengan pertimbangan hamparan rawa sangat luas bagi mereka, sehingga akan sulit untuk mengetahui dimana tepatnya lindu berada. Apalagi Lindu selalu berpindah dari satu tempat ketempat dalam mencari mangsanya, sehingga usul untuk meminta bantuan kesigilah yang diterima. Para pemuka bahwa percaya bantuan dari Kerajaan Sigi akan cepat menyelesaikan masalah.

Kerajaan Sigi pada waktu itu dipimpin oleh seorang raja perempuan yang bernama Bunga Manila , seorang raja yang terkeanl arif dan bijaksana, konon kabarnya ratu Bunga manila merupakan penjelmaan daun “tovavako”. Para pemuka di Lindu mengira saat itu Bunga Manila memiliki anjing pemburu yang terkenal berani, tangkas, kuat dan ganas yang bernama Liliwana atau penjelajah rimba. Menyusul keputusan itu, diberangkatkanlah beberapa orang menyampaikan ke kerajaan Sigi.

Di kerajaan Sigi, Ratu Bunga Manila, merasa sedih dan terharu begitu mengetahui kemalangan yang menimpa suadara-saudaranya di Lindu. Terlebih lagi ketika ia mengetahui maksud kedatangan keluarganya dari Lindu untuk memintai bantuannya mengirimkan Liliwana untuk menumpas sang Lindu, sementara ia tidak pernah memiliki anjing pemburu seperti dimaksudkan masyarakat Lindu itu.
Akan tetapi untung sekali, beberapa orang disekitar istana Bunga Manila yang turut mendengarkan percakapan itu mengaku pernah mendengar dan mengetahui perihal anjing perkasa yang bernama Liliwana itu. Disampaikannya Liliwana adalah anjing milik seorang raja di dari kerajaan Luwu di Sulawesi bagian Selatan. Mendengarkan hal ini Ratu Bunga Manila segera mengirimkan utusan ke kerajaan Luwu hal ini dilakukannya demi membantu saudara-saudaranya di Lindu.

Pada saat itu antara kerajaan sigi dengan kerajaan Luwu berikut kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi selatan telah terjalin hubungan yang baik. Hubungan itu antara lain terjalin melalui kerjasama di bidang perdagangan. Sebelum memberangkatkan utusannya Raja Sigi terlebih dahulu menyampaikan bahwa di selatan terdapat enam buah kerajaan, yang di ilustrasikan dengan ; “Payung ri Wulu, Somba ri Gua, Mangkau ri Bone, Datu ri Sopeng, Ade ri Sidrap dan Aung ri Wajo”.

Penyampaian ini dilakukan Raja Sigi agar supaya para utusan nantinya dapat menyampaikan pesan dengan baik-baik, santun dan berhati-hati, karena mereka akan berhadapan dengan raja-raja yang arif. Setelah memperoleh wejangan, berangkatlah utusan Raja Sigi yang terdiri dari tujuh orang. Dalam perjalanannya ke tujuh utusan pertama-tama menuju ke kerajaan Luwu. Di kerajaan ini para Utusan diterima dengan baik sekali, oleh Payung ri Wulu, mereka dijamu dengan baik mengingat hubungan yang baik antara kerajaan Sigi dan Luwu. Setelah melewati perjamuan di lingkungan istana, Payung ri Luwu memanggil utusan dari Raja Sigi itu untuk membicarakan maksud kedatangan mereka, ia menayakan berita apa yang hendak disampaikan oleh Raja Sigi kepadanya. Salah seorang utusan kemudian menceritakan apa yang terjadi dengan saudara mereka di Lindu sekaligus menyatakan maksud raja Sigi untuk meminjam Liliwana, anjaing pemburu yang kabarnya merupakan peliharaan Raja Luwu.

Raja Luwu membenarkan berita itu, ia juga bersedia meminjamkan Liliwana kepada Raja Sigi, demi persahabatan yang sudah terjalin, sembari berpesan agar anjing pemburu itu diperlakukan sebaik-baiknya, seperti halnya memperlakukan anak sendiri.
Singkat cerita, utusan Raja Sigi segera pulang. Karena keadaan yang sangat mendesak lama waktu perjalanan dari Luwu ke Sigi yang biasa ditempuh selama tujuh hari dapat di lalui dalam satu hari. Setibanya di Sigi, Liliwana diistirahatkan dua hari, setelah itu barulah si anjing pemburu yang perkasa meneruskan perjalanan ke dataran Lindu. Tiba di Lindu, anjing pemburu yang gagah berani ini tidak menyia-nyiakan waktu, dengan indera penciumannya yang tajam, ia segera melacak keberadaan si Lindu. Dalam waktu yang singkat Liliwana segera menemukan buruannya, sejenak kemudian terjadilah pertarungan yang seru antara Liliwana dan Lindu. Dalam perkelahian yang sengit itu kedua hewan saling menyerang, menggigit dan bergumul. Suatu waktu Liliwana terlilit dan berada di bawah, tetapi disaat yang lain, Lindu yang berada di bawah. Demikianlah terjadi berulang kali dalam waktu yang lama.

Pertarungan antara Lindu dan Liliwana disaksikan oleh masyarakat yang dari tujuh pemukiman yang berada di perbukitan dan pegunungan disekeliling rawa. Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan perasaan was-was dan khawatir, tidak sedikit yang meneteskan air mata karena tegangnya, mereka sangat khawatir kalau-kalau Liliwana tidak dapat mengalahkan si Lindu, karena dapat dibayangkan bagaimana akibatnya bila ternyata sang Lindu keluar sebagai pemenang.
Namun untunglah, pada suatu kesempatan Liliwana berhasil menggigit kepala Lindu itu dengan kuatnya, taring-taringnya yang tajam menghunjam kedalam daging hingga tengkorak Lindu, dan mencengkeramnya dengan kuat. Si Lindu menggelatarkan badannya yang besar, meronta-ronta, sambil memukul-mukulkan badannya mengipasi tumbuhan dan pepohonan yang ada dipermukaan rawa yang berlumpur, namun cengkeraman Liliwana terlalu kuat, sehingga ia tak kuasa meloloskan diri, sehingga lama kelamaan Lindu menjadi lemah dan akhirnya menemui ajalnya. Liliwana keluar sebagai pemenang.

Kemenangan Liliwana disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh penduduk lindu mereka bersorak dan bersyukur, sambil mengucapkan terima kasih didalam hati kepada Liliwana, anjing pemburu yang perkasa.
Sejak itu, masyarakat Lindu menguak lembaran baru dalam hidupnya, mereka mulai membuka pemukiman baru di sekitar rawa, diatas tanah-tanah yang landai, diseputar rawa, tanpa ada rasa takut terhadap serangan Lindu. Ditempat ini mereka dapat mencetak sawah dan membuka perkebunan yang luas. Apalagi tanah disekitar rawa merupakan tanah yang subur, karena di bentuk melalui pelapisan humus yang dibawa aliran sungai yang berhulu di gunung-gunung disekelilingnya.

Sementara itu, akibat pertarungan yang maha dahsyat antara Lindu dan Liliwana, permukaan rawa yang luas menjadi terkuak, membentuk sebidang danau yang besar. Orang-orang yang tinggal di sekitarnya menamakannya sebagai Rano Lindu atau Danau Lindu.
Meskipun mengandung beberapa perbedaan, namun pada intinya kedua versi cerita rakyat diatas meyakini bahwa pembentukan danau Lindu, diawali dengan terjadinya pertarungan antara seekor Lindu dengan se ekor anjing pemburu.

Jika dikaitkan secara ilmiah menurut Whitten (1987) yang menghubungkan dengan analisa binatang moluska, menyatakan bahwa Danau Lindu terbentuk pada masa kira-kira antara 5 sampai 1.6 juta tahun yang lalu. Cerita versi kedua lebih mendekati nyata.
Kedua riwayat juga mengkaitkan riwayat pembentukan danau Lindu dengan kerajaan sigi dan bangsawan-bangsawan dari sulawesi selatan, yaitu Sawerigading dari Bone dan Payung Ri Luwu dari kerajaan Luwu, melalui intermediasi raja perempuan Sigi. Keterkaitan itu dijalinkan melalui kepemilikan mereka terhadap anjing pemburu yang perkasa (Liliwana versi Tampilangi atau La Bolong versi Matulada).

Sawerigading adalah tokoh legendaris dalam cerita rakyat tanah kaili. Tokoh ini dihubungkan dengan kedudukan kerajaan Bone, sebagai kerajaan bugis di Sulawesi selatan yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan di tanah kaili. Dapat diperkirakan bahwa hubungan-hubungan yang akrab antara kerjaan Bone dengan kerajaan-kerajaan di Tana kaili berlangsung pada abad ke-17. adapun tokoh sawerigading di sulawesi selatan tersebut terdapat dalam epos la-galigo, dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal raja-raja bugis, khusunya dikerajaan Luwu yang terletak di sebelah utara kerajaan Bone. (Matulada, 1976, et al.,)
Menurut Matulada (et al.,) ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai alat identifikasi etnologis, untuk suatu kelompok manusia dalam suatu komunitas tertentu untuk membedakannya dari kelompok-kelompok lainnya. Biasanya digunakan beberapa kedaan khusus dari kelompok itu sebagai alat identifikasi yang dimaksud seperti ; dialek, ciri kebudayaan, nama tempat, keadaan alam tertentu dan sebagainya, keadaan itulah yang kemudian menjadi identitas atau sebutannya.

Matulada (et al.,) juga mencontohkan bentuk pengelompokan yang dimaksud, misalnya berdasarkan bahasa, terdapat sebutan orang bugis atau orang jawa, kepada suatu kaum dikarenakan mereka berbahasa bugis maupun bahasa jawa; demikian halnya, berdasarkan dialeknya, sebagaimana Adriani dan Kruijt dalam Matulada (et al.,) mengelompokan dialek-dialek dalam kalangan yang disebutnya Toraja, dengan menggunakan kata sangkal seperti ; tae, rai, ledo, daá dan lain-lain. Selajutnya, berdasarkan ciri kebudayaan yang melekat pada suatu kaum Matulada, mencontohkan penamaan yang terjadi pada “to panambe” , yaitu masyarakat yang bermata pencaharian hidup dengan menggunakan alat penangkap ikan yang disebut “panambe”, sedangkan untuk suatu kelompok atau kaum yang diidentifikasikan menurut nama tempatnya, dicontohkan To Palu, To (ri) palu, ialah orang atau kaum yang bermukim di palu.

Menggunakan pendekatan serupa itu, nampaknya identifikasi atau sebutan bagi Toi Lindu didasarkan pada nama tempat mereka bermukim saat ini, yaitu dataran di sekitar danau Lindu, sehingga masyarakat yang bermukim disekelilingnya di kenal sebagai To Lindu atau orang yang bermukim di dataran Lindu.
To Lindu, merupakan sub kultur atau sub etnik Kaili. Matulada, 1976 mengelompokan beberapa kelompok etnis yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari etnis Kaili, yang dalam pernyataan-pernyataan kulturalnya saat itu dapat disebut sesuai dengan nama tempat pemukimannya. Sebagai berikut ; 1) To palu, 2) To Biromaru, 3) To Dolo, 4) To Sigi, 5) To Pakuli, To Bangga, To Baluase, To Sibalaya, To Sidondo, 6) To Lindu, 7) To Banggakoro, 8. To Tamungkulowi dan To Baku, 9) To Kulawi, 10) To Tawaeli, 11) To Susu, To Balinggi, To Dolago, 12) To Petimpe 13) To Raranggonau, 14) To Parigi.
Matulada mengakui bahwa dalam kalangan sub etnik tersebut acapkali terjadi penggolongan yang lebih kecil lagi, dengan ciri-ciri khusus, yang kelihatannya lebih dekat kepada kelompok kekerabatan, yang menunjukan sifat satuan geneologisnya. Kekhususan yang dimaksud dapat pula meliputi ceritera asal usul maupun dialek, yang merupakan pernyataan kulturalnya.
danau-linduHal demikian dapat dijumpai pada To Lindu. untuk menegaskan identitasnya, To Lindu memiliki sejumlah cerita rakyat (Folk Tale), mitos, tokoh-tokoh legendaris yang menjadi suatu pengikat solidaritas bagi anggota masyarakat yang terhisap kedalam sub etnis Lindu.
Bahasa To Lindu digunakan To Lindu berdialek Tado. Dialek ini merupakan salah satu jenis dialek yang tergolong delam rumpun bahasa kaili sebagaimana Unde, Ledo, Tara, Daá dan lain-lain. Penggunaan dialeg ini juga membedakan To Lindu dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya dalam rumpun kaili, termasuk To Kulawi yang berbahasa Uma maupun Moma maupun Ompa. Dibandingkan dengan Pemakaian dialek lain dalam rumpun bahasa kaili, pemakaian dialek Tado kemungkinan merupakan populasi terkecil. Selain To Lindu, komunitas asli Sinduru di Desa Tuva, juga mengklaim diri sebagai pengguna dialek ini, meskipun dengan sedikit varian. Mereka menyebut dialek mereka sebagai dialek “Tado Mbei” , dalam cerita mengenai asal-usulnya, masyarakat Sinduru di Tuva, mengakui bahwa leluhur mereka dulunya berasal dari dataran Lindu, yang bermigrasi ke daerah barat dan membuka pemukiman pertamanya di Oda vatu, suatu tempat yang terletak di sebelah timur desa Tuva kecamatan Gumbasa saat ini.

To lindu juga memiliki sejumlah cerita rakyat maupun mitos mengenai asal-usul mereka, maupun legeda-legenda mengenai ketokohan leluhur mereka, yang selain menimbulkan kebanggan pada diri mereka sebagai bagian dari To Lindu, juga menjadi pengikat solidaritas. Oleh Paul Cohen (2001, et al.,) menekankan bahwa mitos Mitos ini bukan berarti sesuatu yang salah atau tidak nyata. Sejarah sebagai mitos dimaksudkan sebagai sejarah yang dipakai untuk justifikasi tindakan masa kini. 

http://inamuse.wordpress.com/2009/03/06/kisah-terjadinya-danau-lindu/

Jumat, 29 Maret 2013

SEKILAS SUKU KULAWI

Suku Kulawi (To Kulawi), adalah suatu masyarakat adat yang hidup di kabupaten Donggala provinsi Sulawesi Tengah.

Suku Kulawi dikelompokkan ke dalam grup Palu Toraja oleh Walter Kaudern. Suku Kulawi memakai bahasa Moma, dan mereka adalah penganut agama Kristen.

Dataran Lindu juga dihuni oleh suku Kulawi, meski merupakan kelompok minoritas dibanding suku lainnya. Dalam jumlah cukup menonjol, Mereka Kulawi tinggal di dusun Kalora desa Tomado. Jumlah mereka sebanyak 19 keluarga. Di wilayah ini, secara spontan mereka mulai pindah ke Lindu sejak 1980-an. Juga terdapat 6 keluarga suku Kulawi mendiami dusun Kangkuro desa Tomado.

Suku Kulawi pemukimannya tersebar di sekitar danau Lindu, dataran Kulawi, dataran Gimpu dan sekitar daerah aliran sungai Koro (sungai Lariang untuk sebutan di Sulawesi Barat dan Tawaelia di daerah Lore).
Wilayah yang dihuni oleh etnis Kulawi tersebut, telah dihuni oleh nenek moyang mereka sejak masa prasejarah. Hal ini terbukti dari beberapa temuan arkeologis yang masih dapat diamati hingga saat ini. Temuan-temuan megalitik ini, ada yang sudah berumur 3000 tahun.
Pada masa lalu, beberapa kelompok kecil suku Kulawi membentuk sebuah kerajaan yang dinamakan Kerajaan Kulawi. Setelah sekian lama berdiri, maka Kerajaan Kulawi menjadi kerajaan besar di wilayah Sulawesi Tengah.

Tahun 1905 di Bulu Momi terjadi perang antara masyarakat Kulawi melawan kolonial Belanda di bawah pimpinan seorang pahlawan Kulawi yaitu Towualangi yang juga disebut Taentorengke. Ketika perang berlangsung, pada pada saat itu pula kolonial Belanda mulai berkuasa di Kulawi untuk menjadikan Kulawi sebagai daerah kerajaan, maka pada tahun 1906 Kolonial Belanda mengangkat Towualangi menjadi raja Kulawi yang pertama. Dan oleh kolonial Belanda wilayah dataran Lindu masuk ke dalam wilayah administrasi Kerajaan Kulawi.

Beberapa tradisi dalam masyarakat Kulawi yang saat ini masih dipertahankan, adalah adanya tradisi yang masih dipengaruhi oleh tradisi masa megalitik, antara lain pembuatan baju adat yang dibuat dari kulit kayu dengan menggunakan batu ike sebagai pemukulnya. Lalu ada upacara pemakaman yang masih menggunakan nisan berupa menhir.

Suku Kulawi memiliki beberapa tradisi kesenian budaya yang masih bertahan dan tetap dianggap penting sampai sekarang, yaitu Upacara Rakeho, yang merupakan upacara masa peralihan bagi seorang anak laki-laki dari masa anak-anak menuju dewasa. Upacara ini memiliki kegiatan memotong gigi atau meratakan gigi bagian depan atas dan bagian bawah sampai rata.

Upacara Rakeho telah menjadi tradisi di kalangan suku Kulawi yang diwariskan secara turun-temurun berdasarkan pada kepercayaan asli mereka. Meskipun, sebagian besar dari suku ini telah memeluk agama Islam dan Kristen, namun tradisi ini tetap dipertahankan hingga sekarang. Seorang anak laki-laki yang telah melewati upacara ini berarti dianggap sudah dewasa, sehingga diperbolehkan untuk membentuk sebuah keluarga atau menikah, dan dianggap memiliki kedudukan maupun hak dan kewajiban yang sama sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Upacara ini juga bertujuan untuk mencari keselamatan dan keharmonisan bagi keluarga yang bersangkutan setelah menikah kelak.

Suku Kulawi biasanya hidup pada bidang pertanian, seperti tanaman padi di sawah dan ladang. Tanaman lain adalah menanam jagung, ubi. Selain itu mereka juga menanam kopi dan cengkeh, yang menjadi produk utama mereka yangg dijual untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kegiatan lain adalah berburu binatang liar di sekitar hutan di dekat perkampungan suku Kulawi.

http://protomalayans.blogspot.com/2012/10/suku-kulawi-sulawesi_12.html

SEKILAS SUKU MOMA, KULAWI


Suku Moma, adalah suatu etnis (suku) yang mendiami sebagian besar wilayah kecamatan Kulawi dan kecamatan Kulawi Selatan kabupaten Sigi provinsi Sulawesi Tengah. Populasi suku Moma diperkirakan sebesar 2.660 orang pada sensus tahun 2012.
Ngata Toro (Desa Toro), adalah pemukiman utama suku Moma ini, yang berada di kecamatan Kulawi kabupaten Sigi. Desa Toro adalah sebuah desa yang masih asli jauh dari pusat keramaian kota. Suku Moma ini merupakan suku asli di desa Toro ini. Tapi selain suku Toro, ada beberapa etnis lain yang juga mendiami desa Toro ini, yaitu suku Rampi dan suku Toraja yang sejak lama telah bermigrasi ke wilayah ini. Selain itu ada juga beberapa sub-etnis suku Kaili yang berasal dari lembah Sigi dan kota Palu yang ikut hidup bersama-sama di desa ini.
Suku Moma sangat menjaga hutan mereka, yang telah memberi kehidupan bagi mereka sejak zaman nenek moyang mereka. Beberapa aturan adat diterapkan pada pola kehidupan, guna bersama-sama menjaga hutan dari berbagai jenis ancaman kerusakan alam akibat perambahan lahan. Mereka percaya bahwa dari generasi ke generasi mereka hidup melindungi alam dan sumberdaya alam yang mereka miliki. Pembagian wilayah dan lahan garapan sudah ditentukan berdasarkan aturan adat. Mereka sangat menghormati aturan adat peninggalan nenek moyang mereka, yang tetap menjadi hidup seluruh masyarakat adat suku Moma.

Masyarakat suku Moma sampai saat ini masih tetap melestarikan beberapa bangunan tradisional mereka, walaupun rata-rata bangunan tradisional mereka sudah memiliki usia ratusan tahun. Salah satunya Lobo, adalah sebuah bangunan adat dari batang-batang kayu tertentu yang digunakan para tokoh adat dan masyarakat untuk no libu (berkumpul) guna membahas persoalan ngata (desa) atau berkumpul untuk memutuskan suatu persoalan secara adat. Selain Lobo, juga ada Paningku, Gampiri dan Bantaya yang juga memiliki fungsi masing-masing.
Masyarakat suku Moma sebagian beragama Kristen, dan sebagian lain beragama Islam. Walaupun terjadi perbedaan agama di antara mereka, tapi kerukunan beragama sangat baik di sini. Bagi mereka perbedaan agama hanyalah dinamika, tidak bisa membuat mereka menjadi manusia yang berbeda, yang utama bagi mereka adalah mereka tetap bersaudara. Tapi, walaupun mereka telah beragama Kristen dan Islam, mereka masih kuat memegang teguh adat istiadat mereka,seperti “Baliya” dalam rangka upacara penyembuhan orang sakit (wurake).
 
Salah satu tradisi suku Moma di Ngata Toro adalah upacara Wunca Ada Pae, merupakan upacara yang dilakukan setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang telah dihasilkan. Hasil panen (makanan) digantung di bambu dan padi yang akan dijadikan bibit ditempatkan di bawah pohon bambu tersebut.  Setelah itu sang ketua adat meniup terompet yang terbuat dari batang padi dan diikuti oleh tarian Rego yang ditarikan oleh pemuda-pemudi adat.Moma. Dalam upacara Wunca Ada Pae, adalah membaca mantra-mantra yang dilakukan oleh ketua adat yang bertujuan untuk penyelamatan tanah, air, udara dan sumber daya alam yang terdapat di wilayah adat Moma Ngata Toro.
Masyarakat Moma di Ngata Toro, banyak memiliki perajin produk lokal seperti perajin tikar dari daun-daunan mirip ilalang, juga ada perajin kursi bambu dan perajin kulit kayu seperti baju adat yang terbuat dari kulit kayu.. Baju adat dari kulit kayu ini adalah merupakan baju adat asli suku Moma. Sayangnya baju kulit kayu ini semakin sedikit yang "mau" memproduksinya. Sehingga mereka mengkhawatirkan tradisi baju adat kulit kayu ini akan punah dari peredaran.
Kehidupan masyarakat suku Moma ini biasanya berprofesi pada bidang pertanian, seperti tanaman padi basah di sawah-sawah yang terhampar luas di sisi timur wilayah ini.

http://protomalayans.blogspot.com/2012/10/suku-moma-sulawesi.html

SEJARAH TARIAN REGO



R E G O . . . .Asal mula tarian ini, konon kabarnya, dahulu kala ada seorang petani yang sedang berburu di tengah hutan mendengar suara-suara melengking yang bersahut-sahutan. Ketika petani itu mencari sumber bunyi tersebut, dia terkejut melihat segerombolan rusa jantan dan betina sedang melakukan gerakan-gerakan yang ritmis serta sesekali menghentak-hentakkan kaki mereka ke tanah, sambil mengeluarkan suara-suara melengking yang bersahut-sahutan. Dari gerakan rusa-rusa tersebut tarian ini diadaptasi dan ditirukan oleh masyarakat suku Kulawi.
Di kalangan masyarakat suku Kulawi, tarian ini dibawakan secara berpasangan membentuk setengah lingkaran atau satu lingkaran, di mana pria meletakan tangannya pada bahu wanita (mo mi olo). Tarian ini tidak menggunakan alat musik sebagai pengiring, tetapi mengandalkan alunan syair yang dinyanyikan oleh wanita (no wama) lalu dibalas oleh pria yang mengeluarkan suara-suara melengking (no wuncaka). Isi syair dalam tarian ini dibawakan sesuai dengan pesta adat yang sedang berlangsung.
Petama-tama seorang pria melantunkan sebuah syair (no timbeka) lalu diikuti oleh para pria lainnya (no umpui). Selanjutnya syair tersebut dibalas oleh seorang wanita (no wama). Tarian ini semakin riuh oleh lengkingan suara para pria yang bersahut-sahutan (no wuncaka). Pada bagian-bagian tertentu dalam tarian ini, para pria akan menghentak-hentakkan kaki mereka ke tanah (no haita) dan wanita menekukkan lutut mereka (no odu). Dalam tarian ini hanya seorang wanita saja yang berperan sebagai pelantun syair, sedangkan wanita yang lain hanya melakukan gerakan-gerakan ritmis saja.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa tarian ini tidak menggunakan alat musik sebagai pengiring. Hal ini berarti bahwa tarian rego muncul ketika masyarakat suku kulawi belum mengenal alat musik. Saat ini sangat jarang generasi muda suku kulawi yang mengetahui tarian ini, sehingga jika tidak dilestarikan, dikhawatirkan suatu saat nanti tarian ini akan punah.

Contoh syair :
Mungku ami, sirowi da bola mu ( untuk acara duka )
(Dunia hanyalah tempat tinggal sementara, Surgalah rumahmu)
Netongo mo le bengi na, nesuwu mo lentora (untuk acara pernikahan)
(Hari semakin larut malam, timbullah rasa rindu)

 http://b90studio.blogspot.com/2011/02/rego-di-kulawi-sekilas-catatan.html