Jumat, 19 April 2013

Wow... Ada Dokter yang dapat menghidupkan orang mati....



Di antara berbagai spesialisasi yang ada di dunia kedokteran, mungkin spesialisasi ini yang paling menyelamatkan nyawa sekaligus paling horor, yaitu resurrection atau membangkitkan orang mati. Ada seorang dokter asal Inggris yang mengkhususkan diri dalam spesialisasi ini.

Sam Parnia MD adalah nama dokter tersebut. Resurrection atau kebangkitan yang dimaksud sebenarnya adalah menggunakan berbagai teknik resusitasi untuk berupaya keras menyelamatkan nyawa pasien yang dinyatakan meninggal. Kabarnya dokter ini bisa meresutitasi pasien yang sudah meninggal selama beberapa jam.

Parnia adalah kepala perawatan intensif di Stony Brook University Hospital, New York. Pasien yang mengalami serangan jantung di rumah sakit tempat Parnia bekerja memiliki 33% kesempatan untuk diselamatkan. Padahal rata-rata rumah sakit di AS hanya memiliki kemungkinan mentok pada 16% atau kurang.

Dengan metode yang menurutnya cukup sederhana, Parnia yakin bisa mengembalikan proses vital dan menyelamatkan 40.000 orang pasien di AS dan mungkin 10.000 orang di Inggris. Maka tidak mengherankan jika Parnia yang belajar di Inggris ini lalu pindah ke Amerika Serikat pada tahun 2005.

"Serangan jantung cukup mudah dikelola. Jika Anda dapat mengatur proses kematian dengan benar, maka Anda masuk, mengambil bekuan, menempatkan stent, jantung akan berfungsi. Hal yang sama bekerja untuk infeksi, pneumonia atau apa pun. Orang yang tidak merespon antibiotik selama beberapa waktu, kita bisa menjaganya beberapa saat sampai merespon," terang Parnia seperti dilansir The Guardian.

Keyakinan Parnia didukung oleh pengalamannya selama 20 tahun menangani unit perawatan intensif. Ia mendapat pelatihan di London ketika telah terjadi banyak kemajuan dalam teknik resusitasi. Misalnya pendinginan mayat untuk memperlambat kerusakan saraf dan pemeliharaan kadar oksigen ke otak.

Parnia menerangkan bahwa kebanyakan dokter akan melakukan CPR selama 20 menit lalu berhenti. Keputusan untuk menghentikan prosedur tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan dokter dan didasarkan naluri bahwa setelah mengalami kerusakan otak, dokter tak ingin melihat pasiennya hidup dengan kondisi lumpuh.

"Tetapi jika Anda memahami semua hal yang ada di dalam otak pada menit-menit tersebut, maka Anda dapat meminimalkan risiko. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa jika Anda menerapkan semua langkah resusitasi bersama-sama, Anda tidak hanya mendapat 2 kali lipat tingkat kelangsungan hidup, tetapi orang-orang tersebut tidak mengalami kerusakan otak," jelasnya.

Untuk meresusitasi dengan baik, Parnia mengakui bahwa penggunaan mesin jauh lebih baik daripada CPR yang dilakukan dokter. Langkah berikutnya adalah meningkatkan perawatan, yaitu dengan mendinginkan tubuh untuk menjaga sel-sel otak yang saat itu dalam proses apoptosis atau bunuh diri.

Pada saat yang sama, perlu menjaga tingkat oksigen dalam darah. Praktek seperti ini sudah menjadi standar ruang gawat darurat di Jepang. Menggunakan teknik yang disebut ECMO, darah pasien yang dinyatakan meninggal akan disedot keluar dari tubuh lalu dimasukkan melalui membran oxygenator dan dipompa lagi.

Metode ini dapat memberikan waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki masalah mendasar yang menyebabkan kematian pasien. Jika tingkat oksigen ke otak turun hingga di bawah 45% dari normal, jantung tidak akan bisa berdetak lagi. Maka Parnia berupaya agar hal tersebut tidak terjadi.

Dengan cara ini, Parnia dapat memperpanjang proses kematian. Pasien yang terlama pernah ia tangani, dalam artian paling lama setelah dinyatakan meninggal oleh dokter, adalah seorang seorang gadis Jepang yang dinyatakan mati selama lebih dari 3 jam. Gadis tersebut berhasil dibangkitkan setelah 6 jam dan bisa hidup normal, bahkan kabarnya kini sudah memiliki bayi.

Sumber : The Guardian (detik.com)

Minggu, 07 April 2013

WOW... Kees Van Der Spek Diburu Polisi!!

Kees van Der Spek diburu kepolisian! Demikian tersiar berita dari media massa. Pasal yang disangkakan kepada bule Belanda ini adalah menyuap aparat polisi di Bali, sebagaimana heboh videonya di Youtube. Arah demikian sempat menghangat pada awal-awal video ini menghebohkan publik.
Hal ini barangkali tak terlepas dari pernyataan Kapolda Bali Irjen Pol Arif Wachyunadi di televisi. Sang Kapolda menyatakan, intinya, penyuap dan penerima suap akan diusut. Pernyataan ini mengacu pada pemberian uang Rp200 ribu oleh Kees pada oknum polisi di Bali tersebut. Baru belakangan ini saja tak terdengar lagi pernyataan pihak kepolisian RI akan mencari Kees.
Apakah mungkin masyarakat mau sukarela memberi uang kepada aparat negara? Terutama dalam kasus seperti dialami Kees, jika tak diminta oleh aparat, atau aparatnya langsung jatuhkan tilang tanpa membuka celah transaksi.
Berangkat dari contoh kasus begini barangkali sudah waktunya pasal penyuapan dikaji kembali. Kapan perlu direvisi atau didelete. Selanjutnya yang ada hanya pasal pemerasan. Dalam kasus Kees, misalnya, pasal yang tepat adalah pemerasan.
Dengan menyisakan pasal pemerasan maka selanjutnya hanya aparat negara yang dihukum terkait transaksi pemberian uang dalam jabatan oleh warga atau siapapun. Mengapa logika ini dipakai adalah karena pengambil keputusan terkait jabatan adalah aparat ybs. Kuncinya di aparat.
Tidak akan ada transaksi suap jika aparat negara menolak segala pemberian warga. Karena itu, diputus sedemikian rupa rantai penyimpangan dari aparatnya. Tidak memberikan beban secara sama dalam delik penyuapan, dimana pemberi dan penerima suap sama-sama dihukum, seperti saat ini.
Dengan demikian titik fokus aturan hukum terkait tindak pidana dalam jabatan dibebankan sepenuhnya pada pejabat atau aparatus itu sendiri. Tidak menyebar pada warga seperti saat ini. (YM)