Sabtu, 30 November 2013


Heemm... lagi heboh-hebohnya demo dokter, nih ada berita ringan....

Dokter Lo, Dokter Tanpa Tarif dari Solo

Dia juga akan memberikan obat secara gratis bila pasiennya tak mampu.


Nama Lo Siauw Ging mungkin tidak begitu dikenal oleh masyarakat Solo, tapi bila nama panggilannya disebut, yakni dokter Loe, dipastikan sebagian besar warga yang tinggal di Solo bagian timur akan mengenalnya. Dokter Lo dikenal sangat dermawan karena dia gratiskan biaya periksa kepada para pasiennya.

Setiap hari tempat kliniknya yang menjadi satu dengan tempat tinggalnya di Jalan Yap Tjwan Bing 27, Purwodiningratan, Jagalan, Solo, selalu dipenuhi pasien, khususnya saat jam buka praktik antara pukul 06.00 hingga 09.00 WIB dan pukul 16.00 hingga 20.00 WIB.

Di depan rumahnya tidak ada papan nama klinik. Setiap hari, kecuali hari libur, dia membuka praktik. Para pasien tidak hanya berasal dari Solom namun juga daerah lain seperti Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Karanganyar, Sragen, Wonogiri hingga Pacitan, Jawa Timur.

Banyak dari mereka yang datang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Saat sore sejak pukul 16.00 WIB, para pasien mulai antre untuk diperiksa dokter Lo. Mereka datang dengan berjalan kaki, naik becak dan yang naik kendaraan roda dua dan empat juga terlihat ikut mengantre.

“Dari jumlah sekitar 60 pasien setiap harinya, sekitar 70 pasien memang tidak membayar, sedangkan sisanya sekitar 30 persen adalah pasien yang membayar. Prinsip saya memang untuk menolong. Kalau yang punya mau bayar ya silahkan, kalau nggak ya ngak apa-apa karena saya tidak pasang tarif,” kata dia ketika ditemui di kediamannya, Jumat, 29 Nopember 2013.

Dari jumlah pasien yang digratiskan itu, dia menyebutkan bahwa setiap harinya ada sekitar 40 pasien yang gratis tidak membayar biaya pemeriksaan. Dia tak mau menghitung-hitung jumlah biaya periksa yang harus ditanggung karena banyak pasien yang digratiskan. Sebab dirinya memang tidak pernah memasang tarif.

“Semisal tarif periksa sekitar Rp10 ribu per pasien, jadi dari jumlah total pasien yang periksa setiap harinya, kira-kira ada 70 persen atau sekitar 40 pasien yang tidak membayar. Kalau dengan hitungan tarif sebesar itu maka setiap hari saya mendonasikan biaya periksa sekitar Rp400 ribu. Tetapi saya tidak mempersoalkan itu karena saya ikhlas,” kata pria yang lahir di Magelang, 16 Agustus 1934.

Selain membebaskan biaya periksa, dia juga akan memberikan obat secara gratis. Bila obat itu tidak tersedia di kliniknya, pasien akan diberi resep untuk membeli di apotik yang sudah ditunjuk oleh dokter Lo.

Bila pasiennya tidak mampu untuk membeli resep obat di apotik, dokter Lo akan memberikan cap khusus di lembar resepnya. Dengan cap itu maka pihak apotik tidak akan menarik biaya pembelian obat kepada pasien. Semua tagihan dibebankan kepada dokter Lo.

“Saya yang aktif menanyai pasien, ada uang tidak untuk membeli obat. Kalau tidak punya, biar nanti apotik menagih ke saya untuk biaya pembelian obat pasien tersebut,” ucapnya.

Selanjutnya, dia pun menyebutkan bila setiap bulannya uang yang haruh dikeluarkan untuk membayar tagihan obat itu sekitar Rp5 juta hingga Rp10 juta. Meski demikian, dokter Lo mengaku selain uang pribadinya, ternyata dia mendapatkan sumbangan dari para donatur. Hanya saja berapa kisaran jumlah sumbangan yang masuk, ia tidak mau menyebutkannya.

“Maksimal tagihan pembelian obat dari apotik dan rumah sakit per bulan bisa mencapai Rp10 juta. Tetapi ada juga donatur yang ikut membantu menyumbang, namun pastinya saya masih sering nombok untuk membayar tagihan itu,” kata suami dari Gan May Kwee.

Ketika didesak mengenai siapa para donatur itu, ia pun sedikit membocorkan bahwa diantaranya adalah bekas pasien yang pernah ditolongnya. Lantas ia pun menceritakan ketika masih usia anak-anak, pasien yang saat ini menjadi donatur itu beberapa kali dibawa ibunya untuk diperiksa.

Karena untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sulit, ia pun membebaskan biaya periksa dan obatnya.

“Dulu kondisi ekonomi orang tuanya miskin total, tidak punya apa-apa. Tetapi kini, pasien itu telah menjadi orang di Amerika. Mantan pasien itu saat ini menjadi donatur,” kata dia yang merupakan anak nomor tiga dari lima bersaudara.

Sifat sosial dan dermawan yang ditunjukkan oleh dokter Lo tidak lepas dari pesan yang pernah disampaikan almarhum ayahnya sesaat memutuskan masuk Jurusan Kedokteran, Universitas Airlangga. Dalam pesannya itu, sang ayah berkata jika ingin menjadi dokter, jangan menjadi pedagang. Sedangkan jika ingin mencari duit, jadilah seorang pedagang.

“Wejangan itu diberikan kepada saya setelah saya memilih jurusan kedokteran. Dari pesan almarhum bapak itu jelas artinya, pokoknya jangan sampai cari duit dari dokter. Dokter itu bertugas untuk menolong,” papar dia yang lulus dari fakultas kedokteran Universitas Airlangga pada Februari 1962.

Selain dari sang ayah, sikap dokter Lo juga terinspirasi sifat sosialnyua dari almarhum dokter Oen yang merupakan dokter terkenal di Solo pada saat itu. dia ikut dr Oen di RS Panti Kosala yang kini berganti nama menjadi RS Dr Oen, dari tahun 1965 sampai dengan 1981.
Selama 15 tahun bersama dr Oen, ia pun mengetahui benar sifat dr Oen yang sangat sederhana dan berjiwa sosial. Tak hanya itu, sikap murah hati dokter Lo juga terinspirasi oleh pengalamannya saat divonis terkena penyakit kuning kronis. Saat itu dirinya terserang penyakit itu saat bertugas menjadi dokter di Gunung Kidul.

Setelah itu saya dilarikan ke Rumah Sakit Tentara (RST) di Magelang dan mondok hingga satu bulan lamanya. Selama opname di rumah sakitu itu, ia ditangani oleh dokter Supanji.

“Saya sakit kuning. Kondisinya saat itu saya sudah gawat sekali. Nah, setelah mengalami penyakit parah sekali dan tertolong, maka kita harus berbalas budi kepada Tuhan, caranya ya membantu seperti ini dengan ikhlas,” kata dokter Lo yang kini berjalannya harus dibantu dengan tongkat.

Berkat sifat kedermawanan dan sosial yang ditunjukkan oleh dokter Lo, para tetangganya pun mengakui bahwa dokter itu sangat baik di kalangan masyarakat. Seperti disebutkan oleh nyonya Herwin bahwa dokter Lo di mata tetangganya adalah seorang dokter yang hidup sederhana, ramah, serta murah hati.

Pengakuan serupa juga diungkapkan oleh tetangga lainnya yang bernama Turiman. Ia menceritakan saat terjadi kerusuhan 1998, para warga sekitar, khususnya yang laki-laki menjaga kediaman dokter Lo. Mereka menjaga rumah tersebut dari amukan massa, mengingat sejumlah rumah dan toko milik warga keturunan Tionghoa dibakar habis.

“Ya, saat kerusuhan terjadi, rumah dokter Lo aman-aman saja. Kita semua berjaga-jaga di depan dan atap rumah dokter Lo,” katanya. VIVanews -

Rabu, 27 November 2013

SUNGAI MIU DAN GUMBASA

Letak Geografis

Wilayah Sungai Miu dan Gumbasa secara administratif terletak pada Kabupaten Sigi Biromaru yang beribukota di Biromaru, merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Tengah. Sungai Miu dan Gumbasa termasuk dalam Wilayah Sungai Palu-Lariang, secara geografis terletak di 0º30” LU dan 2º20” LS, serta antara 119º45” -121º45” BT, daerah ini berbatasan dengan Kota Palu di Utara, Kabupaten Donggala dis Barat, Provinsi Sulawesi Selatan di Selatan dan Kabupaten Parigi Moutong di Timur. Luas wilayah daerah ini adalah 10.471,71 Km².

Sungai Miu dan Sungai Gumbasa merupakan anak sungai utama pembentuk aliran Sungai Palu. Kedua sungai ini berada di kawasan hulu DAS Palu yang mengalirkan debit sepanjang tahun.

Potensi DAS Miu dan DAS Gumbasa1.
Sarana dan Prasarana Sumber Daya Air

Sarana dan prasarana bangunan sumber daya air antara lain, bendungan (dam), bendung (weir), saluran irigasi, saluran drainase, bangunan pengendali banjir, tanggul banjir, saluran pengelak banjir dan sebagainya. Bangunan irigasi yang penting di WS Palu Lariang antara lain:a. Bendung Gumbasa. Saat ini mengairi lahan persawahan seluas 6.972 ha (luas fungsional). Kondisi bendung saat kunjungan lapangan (Juli 2007) masih dalam kondisi baik dan terawat. Tetapi kondisi saluran induk pada bulan Juni 2005 mengalami kerusakan karena adanya longsoran lahan yang masuk dan menimbun saluran induk sepanjang 5 km di Desa Sibalaya. Telah dilakukan pengerukan atas timbunan tersebut, tetapi pada bulan Agustus 2005 terjadi timbunan lagi akibat dari putusnya saluran syphon dibawah saluran induk. Upaya-upaya perbaikan telah dilaksanakan dan saat ini Irigasi Gumbasa telah befungsi dengan normal kembali.
b. Bendung-bendung lainnya dalam skala yang lebih kecil dan dilaporkan kondisinya dalam keadaan baik.
c.
Intake PDAM dilaporkan dalam kondisi rusak dan tidak beroperasi secara optimal. Dimasa depan direncanakan pengambilan air dari S.Gumbasa sebesar 500 l/detik.



2.  Air Minum

Kapasitas produksi potensial air minum di Kabupaten Sigi Biromaru/Kota Palu pada tahun 2004 mencapai 399 liter/detik dan kapasitas efektif yang dihasilkan oleh PDAM Sigi Biromaru/Palu adalah 254 liter/detik (63,6%) (BPS Prov. Sulteng, 2004). Sumber air untuk memenuhi kebutuhan air minum Kota Palu dan Kab.Sigi Biromaru diambil dari sungai dan mata air. Pengambilan sumber air dari sungai dimulai pada tahun 1971 tetapi upaya ini tidak berjalan sesuai dengan rencana

3. Potensi Sumber Tenaga

Pada beberapa lokasi dalam DAS Miu dan Gumbasa, khususnya yang berada di daerah hulu Sungai Miu dan Gumbasa, terdapat beberapa titik potensial untuk pengembangan pembangkitan listrik tenaga air (PLTA). Kondisi ini ditunjang dengan beda tinggi (head) yang cukup besar dengan debit air yang konstan sebagai energy potensial untuk menggerakkan turbin-turbin pembangkit listrik.
Lokasi yang strategis tersebut adalah outlet Danau Lindu atau Sungai Rawa pada elevasi +980 mdpl, dengan kapasitas debit berkisar 45 m³/detik, dan outlet Sungai Sopu (awal S. Gumbasa) dengan elevasi + 550 mdpl dengan debit berkisar 100 m³/detik. Selain itu, untuk opimasi penggunaan air Bendung Gumbasa, dapat pula dimanfaatkan airnya bagi pembangkitan tenaga listrik skala mini dengan memanfaatkan jaringan irigasi yang sudah ada. Dengan menggunakan jenis turbin pembangkit untuk head yang rendah, potensi aliran irigasi Gumbasa berpotensi untuk dimanfaatkan bagi pembangkitan tenaga listrik untuk daerah-daerah disekitarnya.
Babarapa lokasi lainnya yang juga berpotensi adalah sungai-sungai yang menghasilkan terjunan 20 – 40 m yang terletak di sisi barat DAS Palu, tepatnya di desa Kaleke, Wera dan sekitarnya. Beberapa investor sebenarnya tertarik untuk melakukan investasi dan telah melakukan studi kelayakan untuk Sungai Rawa dan Sungai Gumbasa. Studi kelayakan telah dilakukan dan pihak investor bahkan telah sampai pada tahapan exspose kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi Biromaru dan Kota Palu, LSM, perguruan tinggi dan dinas-dinas terkait lainnya.  
(sumber : http://sultengexploride.blogspot.com)

Selasa, 07 Mei 2013

RAJA PERTAMA KULAWI


Pada zaman dahulu kala ada seorang raja yang bertahta di Desa Tavebia, daerah Kulawi, Sulawesi Tengah, bernama Datuelo. Suatu hari Datuelo ingin membangun sebuah baruga (rumah adat). Untuk itulah ia mengadakan suatu pertemuan dengan para penasihatnya. Dalam pertemuan tersebut diputuskan bahwa di Desa Tavebia akan didirikan sebuah baruga yang diberi nama Ntamalilo.
Setelah baruga itu selesai dibangun raja menginginkan untuk membuat sebuah pesta besar yang tidak hanya dihadiri oleh seluruh rakyatnya yang ada di Tavebia saja, melainkan juga orang-orang yang berasal dari tempat yang jauh, seperti Tobaku, Banggaiba, Ntipe, Sivongi dan Tovulu. Agar orang-orang yang berada di luar Tavebia datang dan mengikuti pesta, maka Datuelo beserta para pengawalnya pergi ke berbagai daerah untuk menyampaikan undangan.
Setelah para undangan datang, mulailah diadakan suatu upacara khusus sebagai tanda peresmian baruga. Selanjutnya mereka dipersilakan untuk menikmati berbagai macam hidangan lezat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Saat para hadirin sedang berpesta, Raja Datuelo lalu memanjat baruga yang baru tersebut hingga sampai ke bubungannya untuk menggantungkan telinga kerbau. setelah telinga kerbau sudah terpasang ia pun turun kembali dan duduk dekat Raja Tobaku yang bernama Logia.
Kepada Logia, Datuelo lalu berkata, “Kalau engkau sanggup memanjat dan sekaligus memotong telinga kerbau yang baru saja aku gantung engkau pasti dapat mengalahkanku. Namun apabila engkau tidak mampu mengambilnya, engkau pasti aku kalahkan.”
Mendengar kata-kata tantangan dari Raja Datuelo, tanpa berpikir panjang lagi Raja Logia langsung melompat dari tempat duduknya sambil berkata, “Aku adalah seorang raja yang terkenal gagah dan berani. Aku tentu saja dapat dengan mudah melakukan apa yang engkau katakan itu.”
Lalu ia naik ke baruga untuk memutuskan ikatan telinga kerbau. Sesampainya di bubungan ia lalu meraih telinga kerbau yang digantung itu. Namun sayang, ketika telah berhasil mengambil telinga kerbau, tiba-tiba kakinya terpeleset dan ia pun langsung terjatuh. Dan, ketika sampai di bawah tubuhnya langsung ditikam dengan keris oleh Datuelo sehingga tewas seketika.
Seluruh hadirin yang menyaksikan kejadian itu merasa heran melihat tindakan Datuelo yang dirasa kurang pantas dan memalukan. Ada yang merasa sedih, iba, pilu, dan ada pula yang merasa terpukul hatinya disertai perasaan dendam. Mereka yang berasal dari Tobaku dengan perasaan sedih dan dendam segera mengangkat mayat rajanya untuk dibawa pulang ke Tobaku.
Sesampai di Tobaku jazad Logia segera dikuburkan melalui suatu upacara adat kematian. Kemudian para lelaki di daerah Tobaku berkumpul di baruga desa itu untuk membicarakan sebab-musabab kematian rajanya yang dianggap tidak wajar akibat dikhianati oleh Datuelo. Dan, dalam pertemuan itu akhirnya mereka bersepakat menyerang Tavebia untuk membalas dendam atas kematian raja mereka. Setelah itu tujuh orang diantara mereka diutus untuk menyampaikan berita kepada Raja Datuelo bahwa pasukan Tobaku akan melakukan peperangan terhadap Tavebia satu bulan mendatang.
Singkat cerita, setelah hari yang ditentukan tiba Pasukan Tobaku segera menyerang Tavebia. Terjadilah pertempuran yang sangat sengit diantara kedua pasukan tersebut. Namun karena jumlah pasukan Tobaku kalah banyak, maka mereka akhirnya terpaksa mundur dengan hanya menyisakan 30 orang saja.
Merasa pasukannya menang Datuelo segera berteriak kepada pasukan Tobaku yang berhasil dipukul mundur, “Kalau kalian belum puas, silahkan datang lagi. Kami siap menunggu serangan berikutnya! Moma mupakule mompaeva tavua bola bo tavua lei (kamu tidak akan mampu melawan lebah putih dan lebah merah)”
Keesokan harinya pasukan Tobaku datang lagi menyerang. Kali ini mereka dibantu oleh orang-orang dari daerah Ntipe, Banggaiba, Tovulu dan Sivongi sehingga jumlahnya lebih banyak dari pasukan Tavebia. Pertempuran pun terjadi lagi dengan membawa korban jiwa yang semakin banyak. Darah pun mengalir di sepanjang kaki Gunung Tiva. Dan, dalam pertempuran tersebut Raja Datuelo akhirnya tewas bersama sebagian besar penduduk Tavebia lainnya. Untunglah isterinya yang sedang hamil tua dapat meloloskan diri dengan menyusuri Sungai Oo hingga sampai di hutan sekitar daerah Hoho. Di sana ia bersembunyi di sebuah goa selama beberapa minggu hingga melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat.
Pada suatu ketika ada seorang pemburu asal Hoho yang sedang berburu di sekitar goa tempat isteri Datuelo bersembunyi. Di tempat itu ia mendengar suara tangis seorang bayi. Karena penasaran, ia kemudian secara perlahan-lahan memasuki goa itu untuk melihat bayi siapa yang sedang menangis tersebut. Sesampai di dalam gua ia menyaksikan seorang ibu yang sedang menyusui bayinya. Sang pemburu lalu bertanya, “Siapakau engkau dan dari mana asalmu?”
Si ibu yang sedang menyusui itu pun terkejut. Ia tidak menyangka kalau tempat persembunyiannya telah diketahui orang. Akhirnya ia pun menjawab, “Saya adalah isteri Raja Datuelo yang tewas ketika berperang melawan pasukan Tobaku. Untunglah saya sempat meloloskan diri dan bersembunyi di sini hingga melahirkan anakku ini.”
Karena merasa iba melihat kondisi si ibu beserta bayinya, sang pemburu lalu menawarkan untuk tinggal di rumahnya, “Gendonglah anakmu itu dan ikutlah kerumahku.”
Singkat cerita, ibu dan bayinya yang diberi nama Sesoki kemudian tinggal di rumah si pemburu. Beberapa tahun kemudian Sesoki tumbuh menjadi seorang anak yang gagah dan berani. Ia sering pergi berburu bersama ayah angkatnya hingga ke daerah-daerah yang berada di sebelah utara Tavebia, seperti Gunung Vongu, Kulawi dan Lindu.
Suatu hari, saat sedang berburu di sekitar Gunuk Pekalotia ia bertemu dengan pemburu lain bernama Nculelindu. Dan, dari pertemuan tersebut akhirnya mereka menjalin suatu persahabatan yang ditandai dengan saling menukar buah pinang. Mereka pun kemudian sering berburu bersama di hutan-hutan sekita Hoho dan Lindu.
Suatu ketika, saat sedang berburu di daerah sekitar Gunung Tamuku mereka dihadapkan pada cuaca yang sangat buruk. Guntur dan kilat saling menyambar tiada henti-hentinya dan angin bertiup sangat kencang yang dibarengi pula dengan hujan lebat sehingga keadaan sekeliling menjadi gelap. Dalam suasana seperti itu mereka memutuskan untuk pulang dan tidak jadi berburu. Namun ketika tengah mengemasi alat-alat berburunya, tiba-tiba Sesoki dan Nculelindu mendengar sebuah suara yang seakan-akan memanggil mereka, “Hei, tunggu dulu. Bolehkan aku ikut kalian?”
“Perlihatkanlah dirimu,” kata Sesoki penasaran.
“Kalau aku perlihatkan diriku, janganlah sampai ada anjing-anjingmu yang menggonggong. Kalau mereka menggonggong, aku seketika akan berubah bentuk,” kata suara itu.
“Baiklah,” kata Sesoki dan Nculelindu berbarengan sambil memegang anjing mereka masing-masing.
Setelah mendapat jaminan dari Sesoki dan Nculelindu, secara perlahan-lahan ada sesosok tubuh yang keluar dari batang pohon pinang. Ternyata ia adalah seorang perempuan yang sangat cantik. Perempuan itu lalu berkata, “Di mana tempat tinggal kalian?”
“Saya Sesoki dan tinggal di Desa Hoho, sedangkan teman saya bernama Nculelindu berasal dari Desa Levunto,” jawab Sesoki.
Oleh karena Nculelindu lebih tua dari sesoki maka si perempuan yang bernama Halilienu itu memilih untuk ikut bersama Nculelindu. Dan beberapa minggu setelah itu mereka pun melangsungkan perkawinan. Saat Sesoki datang ke pesta perkawinan, Nculelindu menjanjikan kepadanya apabila nanti ia mempunyai anak perempuan, maka anaknya itu akan ia kawinkan dengan Sesoki. Hal ini ia lakukan sebagai rasa terima kasih kepada Sesoki karena tidak berkeberatan ketika ia membawa Halilienu ke rumahnya.

Beberapa bulan kemudian Halilienu pun hamil dan akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan yang diberinya nama Cindivongi. Ketika anak ini lahir, Halilienu berkata pada suaminya, “Kalau anak kita buang air besar, maka engkaulah yang harus membasuh pantatnya. Pantang bagiku untuk melakukan hal itu. Dan, apabila aku sampai melakukannya, maka akan terjadi sesuatu pada diriku.”
“Tak usah khawatir, aku akan melaksanakan apa yang telah engkau katakan itu,” jawab suaminya.
Namun janji Nculelindu itu ternyata ternyata tidak dapat ia tepati. Hal ini terjadi ketika ia sedang berburu bersama Sesoki Gunung Tamuku. Waktu itu anaknya buang air besar, sehingga mau tidak mau isterinya harus membersihkannya sendiri. Dan, setelah itu Halilienu tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Akhirnya, sejak saat itu Nculelindu pun harus merawat Cindivongi seorang diri hingga dewasa. Dan, setelah Cindivongi dewasa ia dikawinkan dengan Sesoki. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak yang diberi nama Taura yang setelah dewasa diangkat menjadi Raja Kulawi yang pertama.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Sulawesi Tengah. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kamis, 02 Mei 2013

4 HAL DARI PELAJARAN PPKn YANG SUDAH DILUPAKAN ORANG


Masih inget pelajaran PPKn dong? Kayaknya semua yang sekolah di Indonesia pasti pernah dapet pelajaran yang satu ini. Namanya ganti-ganti sih, pernah PMP, terus jadi PPKn, terus sempet berubah lagi jadi PKn, terus gak tau sekarang namanya apa. Masih ada gak sih? Nah, jadi ceritanya PPKn ini adalah pelajaran yang mau mengajarkan kita bagaimana menjadi warga negara yang baik. Bagus kan maksudnya. Sayangnya, kayaknya sekarang inti dari pelajaran ini sendiri udah dilupakan. Berikut adalah 4 hal dari pelajaran PPKn yang sudah dilupakan orang:

Tenggang Rasa

Tenggang rasa berarti dapat ikut menghargai perasaan orang lain. Artinya kamu mikirin perasaan orang lain dan gak berbuat seenaknya.
Contoh di Pelajaran PPKn: Contoh yang paling gampang adalah tidak menyetel musik keras-keras di malam hari karena akan mengganggu tetangga.
Kenyataannya Sekarang: Makin banyak yang ngadain acara di jalan sampe nutup-nutup jalan dan tentunya tidak peduli dengan kenyamanan orang-orang di sekitarnya. Tidak jarang acaranya baru besok tapi nutup jalannya udah dari malam sebelumnya.

Toleransi

Toleransi adalah sebuah sikap toleran atau dengan kata lain saling menghormati satu sama lain.
Contoh di Pelajaran PPKn: Membiarkan teman yang beragama lain untuk beribadah.
Kenyataanya Sekarang: Membiarkan teman beragama lain beribadah? Hahahaha.

Musyawarah Untuk Mufakat

Musyawarah untuk mufakat berarti sebuah keputusan diambil dengan cara bermusyawarah dengan tujuan agar mendapatkan hasil yang terbaik bagi semua orang.
Contoh di Pelajaran PPKn: Membicarakan pembangunan balai desa bersama-sama, dengan tujuan agar balai desa ini bisa disetujui dan digunakan oleh seluruh masyarakat.
Kenyataannya Sekarang: Seperti yang Marzuki Alie bilang, rakyat mah gak usah diajak ngomong soal bangun-bangun gedung.

Mendahulukan Kepentingan Umum

Sudah cukup jelas yah dari namanya. Ini berarti kamu harus mendahulukan kepentingan umum dibandingkan kepentingan pribadi.
Contoh di Pelajaran PPKn: Kalo mau ada pelebaran jalan, kamu harus merelakan lahan rumah kamu untuk digusur, demi kepentingan umum! Ya ampun warga negara yang baik banget!!
Kenyataannya Sekarang: Sekarang mah lebih penting renovasi WC 2 milyar, parkir 3 milyar, dan ruang rapat 20 milyar sih dibanding bangun alat transportasi yang memadai, betulin jalan, atau apalah yang bisa bikin masyarakat seneng.
Kalo begini sih namanya rugi udah sekolah lama-lama. Balik lagi ke sekolah gih.
http://terselubung.blogspot.com/2013/04/4-hal-dari-pelajaran-ppkn-yang-sudah.html

Jumat, 19 April 2013

Wow... Ada Dokter yang dapat menghidupkan orang mati....



Di antara berbagai spesialisasi yang ada di dunia kedokteran, mungkin spesialisasi ini yang paling menyelamatkan nyawa sekaligus paling horor, yaitu resurrection atau membangkitkan orang mati. Ada seorang dokter asal Inggris yang mengkhususkan diri dalam spesialisasi ini.

Sam Parnia MD adalah nama dokter tersebut. Resurrection atau kebangkitan yang dimaksud sebenarnya adalah menggunakan berbagai teknik resusitasi untuk berupaya keras menyelamatkan nyawa pasien yang dinyatakan meninggal. Kabarnya dokter ini bisa meresutitasi pasien yang sudah meninggal selama beberapa jam.

Parnia adalah kepala perawatan intensif di Stony Brook University Hospital, New York. Pasien yang mengalami serangan jantung di rumah sakit tempat Parnia bekerja memiliki 33% kesempatan untuk diselamatkan. Padahal rata-rata rumah sakit di AS hanya memiliki kemungkinan mentok pada 16% atau kurang.

Dengan metode yang menurutnya cukup sederhana, Parnia yakin bisa mengembalikan proses vital dan menyelamatkan 40.000 orang pasien di AS dan mungkin 10.000 orang di Inggris. Maka tidak mengherankan jika Parnia yang belajar di Inggris ini lalu pindah ke Amerika Serikat pada tahun 2005.

"Serangan jantung cukup mudah dikelola. Jika Anda dapat mengatur proses kematian dengan benar, maka Anda masuk, mengambil bekuan, menempatkan stent, jantung akan berfungsi. Hal yang sama bekerja untuk infeksi, pneumonia atau apa pun. Orang yang tidak merespon antibiotik selama beberapa waktu, kita bisa menjaganya beberapa saat sampai merespon," terang Parnia seperti dilansir The Guardian.

Keyakinan Parnia didukung oleh pengalamannya selama 20 tahun menangani unit perawatan intensif. Ia mendapat pelatihan di London ketika telah terjadi banyak kemajuan dalam teknik resusitasi. Misalnya pendinginan mayat untuk memperlambat kerusakan saraf dan pemeliharaan kadar oksigen ke otak.

Parnia menerangkan bahwa kebanyakan dokter akan melakukan CPR selama 20 menit lalu berhenti. Keputusan untuk menghentikan prosedur tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan dokter dan didasarkan naluri bahwa setelah mengalami kerusakan otak, dokter tak ingin melihat pasiennya hidup dengan kondisi lumpuh.

"Tetapi jika Anda memahami semua hal yang ada di dalam otak pada menit-menit tersebut, maka Anda dapat meminimalkan risiko. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa jika Anda menerapkan semua langkah resusitasi bersama-sama, Anda tidak hanya mendapat 2 kali lipat tingkat kelangsungan hidup, tetapi orang-orang tersebut tidak mengalami kerusakan otak," jelasnya.

Untuk meresusitasi dengan baik, Parnia mengakui bahwa penggunaan mesin jauh lebih baik daripada CPR yang dilakukan dokter. Langkah berikutnya adalah meningkatkan perawatan, yaitu dengan mendinginkan tubuh untuk menjaga sel-sel otak yang saat itu dalam proses apoptosis atau bunuh diri.

Pada saat yang sama, perlu menjaga tingkat oksigen dalam darah. Praktek seperti ini sudah menjadi standar ruang gawat darurat di Jepang. Menggunakan teknik yang disebut ECMO, darah pasien yang dinyatakan meninggal akan disedot keluar dari tubuh lalu dimasukkan melalui membran oxygenator dan dipompa lagi.

Metode ini dapat memberikan waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki masalah mendasar yang menyebabkan kematian pasien. Jika tingkat oksigen ke otak turun hingga di bawah 45% dari normal, jantung tidak akan bisa berdetak lagi. Maka Parnia berupaya agar hal tersebut tidak terjadi.

Dengan cara ini, Parnia dapat memperpanjang proses kematian. Pasien yang terlama pernah ia tangani, dalam artian paling lama setelah dinyatakan meninggal oleh dokter, adalah seorang seorang gadis Jepang yang dinyatakan mati selama lebih dari 3 jam. Gadis tersebut berhasil dibangkitkan setelah 6 jam dan bisa hidup normal, bahkan kabarnya kini sudah memiliki bayi.

Sumber : The Guardian (detik.com)

Minggu, 07 April 2013

WOW... Kees Van Der Spek Diburu Polisi!!

Kees van Der Spek diburu kepolisian! Demikian tersiar berita dari media massa. Pasal yang disangkakan kepada bule Belanda ini adalah menyuap aparat polisi di Bali, sebagaimana heboh videonya di Youtube. Arah demikian sempat menghangat pada awal-awal video ini menghebohkan publik.
Hal ini barangkali tak terlepas dari pernyataan Kapolda Bali Irjen Pol Arif Wachyunadi di televisi. Sang Kapolda menyatakan, intinya, penyuap dan penerima suap akan diusut. Pernyataan ini mengacu pada pemberian uang Rp200 ribu oleh Kees pada oknum polisi di Bali tersebut. Baru belakangan ini saja tak terdengar lagi pernyataan pihak kepolisian RI akan mencari Kees.
Apakah mungkin masyarakat mau sukarela memberi uang kepada aparat negara? Terutama dalam kasus seperti dialami Kees, jika tak diminta oleh aparat, atau aparatnya langsung jatuhkan tilang tanpa membuka celah transaksi.
Berangkat dari contoh kasus begini barangkali sudah waktunya pasal penyuapan dikaji kembali. Kapan perlu direvisi atau didelete. Selanjutnya yang ada hanya pasal pemerasan. Dalam kasus Kees, misalnya, pasal yang tepat adalah pemerasan.
Dengan menyisakan pasal pemerasan maka selanjutnya hanya aparat negara yang dihukum terkait transaksi pemberian uang dalam jabatan oleh warga atau siapapun. Mengapa logika ini dipakai adalah karena pengambil keputusan terkait jabatan adalah aparat ybs. Kuncinya di aparat.
Tidak akan ada transaksi suap jika aparat negara menolak segala pemberian warga. Karena itu, diputus sedemikian rupa rantai penyimpangan dari aparatnya. Tidak memberikan beban secara sama dalam delik penyuapan, dimana pemberi dan penerima suap sama-sama dihukum, seperti saat ini.
Dengan demikian titik fokus aturan hukum terkait tindak pidana dalam jabatan dibebankan sepenuhnya pada pejabat atau aparatus itu sendiri. Tidak menyebar pada warga seperti saat ini. (YM)

Minggu, 31 Maret 2013

TIPOLOGI ARSITEKTUR LOBO


      Lobo merupakan salah satu bangunan adat Sulawesi Tengah. Bangunan Lobo ini terdapat di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi. Saat ini Lobo masih tetap difungsikan di beberapa desa. Desa-desa tersebut antara lain di desa Toro, desa Namo, desa Tuva, dan desa Boladangko. Adapun Tipologi dari masing-masing lobo yang ada pada beberapa desa tersebut sedikit berbeda. 
rumah adat lobo
     Dalam tulisan ini, hanya akan di paparkan tipologi bangunan Lobo yang terdapat di desa Toro, Kecamatan Kulawi, Propinsi Sulawesi Tengah. Lobo di desa Toro ini adalah salah satu Lobo tertua yang masih ada hingga saat ini.
     Telah dijelaskan berbagai hal mengenai Lobo pada tulisan sebelumnya di Liputan Arsitektur Bangunan Adat Lobo. Sekarang akan dibahas mengenai Tipologi Bangunan Lobo.

Tipologi Bangunan Lobo


TANGGA LOBO

tangga lobo


• Jumlah tangga satu buah

• Jumlah anak tangga lima buah
• Tangga dari batang kayu bulat yang dipahat
• Pada bagian atas mengecil
• Posisi tangga di tengah bagian depan



Catatan :

Lobo yang dibangun sebelumnya (pada tahun 1908) memiliki dua buah tangga yang menurut kepercayaan masyarakat setempat 
salah satunya difungsikan sebagai jalan masuk mahluk halus.




Berbeda halnya dengan lobo yang didirikan pada tahun 1991 

tinggal terdapat satu buah tangga, disebabkan masuknya pengaruh agama.





ATAP LOBO

atap interior lobo atap eksterior lobo

• Menggunakan atap sirap yang terbuat dari bahan kayu yang dibelah kecil

• Bahan atap terbuat dari kayu (alipa’a)
• Bagian yang dilapisi ijuk hanya pada bagian – bagian pinggir atap (panapiri)



LANTAI LOBO

lantai lobo lantai lobo

Lantai Bawah (Daula)

• Pada lantai bawah menggunakan material papan
• Tidak menggunakan paku, hanya menggunakan balok untuk menjepit papan
• Ditengah perkembangannya lantai lobo akhirnya menggunakan paku 
• Lebar papan yang digunakan 25 cm
• Luas lantai 660 x 520 cm



Lantai Atas (Tuha Kanavaria)

• Material yang digunakan terbuat dari kulit kayu pohon nibun
• Pengikatnya menggunakan rotan
• Lebar tuha kanavaria 140 cm



DINDING LOBO

dinding lobo dinding lobo

Dinding Bawah

• Material yang digunakan berupa kayu bulat yang disusun sebanyak dua buah
• Sebagai pengikatnya menggunakan rotan
• Tinggi dinding bawah 50 cm
• Panjang dinding kiri depan 210 cm  
• Panjang dinding samping kiri dan kanan 530 cm 
• Panjang dinding belakang 840 cm



Dinding Atas

• Material yang digunakan adalah papan yang dibilah – bilah 
• Sebagai pengikatnya juga menggunakan rotan
• Tinggi dinding atas 50 cm
• Panjang dinding kiri depan 380 cm
• Panjang samping kri dan kanan 765 cm
• Panjang dinding belakang 110 cm
• Sebagai penutup dinding atas terdapat kayu bulat yang berfungsi sebagai 
penahan tangan orang yang duduk dan dinamakan “rindinukeke



ORNAMEN LOBO

ragam hias lobo

Pada desa Toro, ornamen hanya terdapat pada tiang tengah bangunan sebagai simbol bahwa jika ada yang melakukan pelanggaran dan harus menerima hukuman, 

dapat diganti dengan cara membayar denda seekor kerbau.










TIANG LOBO

tiang lobotiang lobo

• Bentuk tiang secara keseluruhan yaitu lingkaran.

• Terdapat perbedaan dimensi antara tiang tengah dan tiang pinggir/tepi.
• Struktur tiang tidak menerus ke tanah hanya sampai pada lantai, 
• Tiang berdiri di atas pondasi yang disusun berupa kayu secara bersilangan



• Struktur tiang pada terdiri dari balok jepit yang diikat dengan rotan.

• Dimensi tiang tengah yaitu berdiameter ± 20 cm.
• Dimensi tiang pinggir ± 15 cm.
• Tinggi tiang 3 m dari lantai dan balok jepit.


sambungan tiang lobo


Tampak sambungan tiang dan balok dalam struktur atap yang terdapat pada bagian tepi, dengan menggunakan rotan  yang berlapis-lapis sebagai pengikatnya.



Sekian tulisan mengenai Tipologi Arsitektur Lobo. Semoga Dapat Bermanfaat.

http://kakarmand.blogspot.com

Jalan Gimpu-Gintu Bisa Direalisasikan


Walau beritanya sudah beberapa bulan lalu, setidaknya bisa mengingatkan kembali...


SIGI- Keinginan masyarakat Kulawi sehubungan dengan percepatan aksesibilitas di wilayah mereka bisa terealisasi. Keinginan yang mereka komunikasikan melalui wadah Perhimpunan Masyarakat Kulawi (PMK) tersebut, mendapat jawaban baik dari Gubernur Sulawesi Tengah, Drs H Longki Djanggola MSi.

PMK dalam aspirasinya yang disampaikan usai pelaksanaan adat Potapahi Ngata di Desa Boladangko, Kecamatan Kulawi, Sabtu lalu (20/10/12), meminta pemerintah membuka akses jalan di beberapa wilayah di Kecamatan Kulawi seperti jalur Gimpu-Gintu, Gimpu-Peana-Kalamanta, hingga Kulawi-Towulu-Banggaiba.

Merespons aspirasi tersebut, Gubernur turut menjelaskan panjang lebar. Dia mengakui, persoalan jalur Gimpu sudah selalu menjadi amatannya sebelum dirinya menjadi gubernur seperti saat ini. “Saya masuk dari Jakarta tugas di Palu saya sudah tahu jalan Kulawi-Gimpu itu sudah ada, kemudian itu sampai sekarang tidak terus-terus, saya pun ikut bertanya-tanya kenapa jalan itu tidak terus bahkan diberhentikan paksa, waktu itu kalau tidak salah oleh beberapa NGO,” ujar Gubernur.

Alasan pemberhentian paksa oleh NGO yang enggan disebutkannya detail tersebut, juga diakui masih diingatnya yakni terkait alasan keberadaan hutan lindung. Alasan inilah yang sampai sekarang masih sering menjadi kendala mengapa pemerintah belum bisa merealisasikan, berbagai rencana pembukaan jalan di beberapa wilayah di Kabupaten Sigi dan Poso yang memang menjadi basis lahan kawasan ini.
Jadi, tegas Gubernur, persoalannya bukan pada keengganan pemrintah provinsi maupun daerah untuk menganggarkan rencana pembukaan lahan jalan yang ada, tetapi kendala pada aturan kehutanan.

“Gimpu-Gintu bisa direalisasikan, termasuk Peana-Kalamanta. Tolong aspirasi itu dibuatkan secara tertulis pada kami dari semua komponen masyarakat agar ini betul-betul menjadi landasan kami untuk berbicara ke tingkat yang lebih tinggi,” katanya.
Longki mencontohkan kasus jalan Sadaunta-Lindu pasca terjadinya gempa Sigi Agustus lalu. Selama ini, jalur tersebut sama sekali tidak bisa dibuka karena status hutan lindung yang menaunginya. Namun hal tersebut tidak bisa lagi dipertahankan, manakala alasan kemanusiaan menjadi taruhannya.

“Dengan segala macam risiko dan saya mohon izin dari semua teman-teman dari berbagai unsur, saya pamit kepada menteri kehutanan saya harus membuka jalan itu untuk kepentingan kemanusiaan. Dan itu pula akhirnya direstui karena memang untuk kepentingan kemanusiaan,” jelas Longki.
Sehingga saat ini jalan Sadaunta Lindu bisa digunakan meskipun dengan ketentuan jarak yang diberikan selebar 4 meter saja. Jalur tersebut dipastikan digunakan untuk kemudahaan akses kemanusiaan untuk masyarakat Lindu, dan tidak digunakan untuk kepentingan lain. “Jadi kalau misalnya ada masyarakat yang nakal yang menggunakannya untuk illegal logging, maka saya minta maaf saya nyatakan saya akan tutup kembali jalan itu, karena saudah keluar dari ikrarnya,” tegasnya. Hal tersebut, tambahnya lagi berani diungkapkannya, karena jaminan tersebut juga datang dari semua tokoh masyarakat di Lindu  pada waktu itu.

Longki mengingatkan kembali, agar kesempatan ini dapat diseriusi oleh semua elemen masyarakat Kulawi dengan segera membuatkan pernyataan secara tertulis bahwa pembukaan jalan di wilayah-wilayh tersebut pun tidak akan merusak kawasan-kawasan terlindungi disekitarnya. “Sehingga pemerintah pusat pun insya Allah akan memberikan izin itu untuk kita manfaatkan bagi perbaikan jalan,” kata Longki.
(http://www.radarsulteng.co.id/index.php/berita/detail/Rubrik/50/5360)

SUKU WINATU, KULAWI



Suku Winatu (To Winatu), adalah salah satu suku asli yang terdapat di provinsi Sulawesi Tengah.

Suku Winatu ini berbicara dalam bahasa Uma. Bahasa Uma digunakan oleh beberapa suku yang termasuk dalam kelompok Kulawi, seperti Kulawi, Kantewu, Kalamanta, Siwongi dan Winatu. Bahasa Uma yang diucapkan oleh suku Winatu ini disebut juga sebagai bahasa Winatu atau bahasa Uma dialek Winatu. Sedangkan menurut Walter Kaudern, mengelompokkan suku Winatu ini ke dalam kelompok Koro Toraja.

Seperti suku Kantewu, suku Winatu juga penganut agama Kristen. Agama Kristen masuk dan berkembang ke wilayah ini dibawa dan diperkenalkan oleh seorang misionaris dari Eropa yang bernama Leonard Woodward.

Sekitar tahun 1960, pemerintah setempat memindahkan pemukiman suku Winatu dari desa Lonca dan desa Winatu kecamatan Kulawi kabupaten Donggala melalui proyek transmigrasi lokal ke dataran Lindu. Mereka ditempatkan di sebuah desa baru yang sengaja dibangun, yakni desa Puroo. Terakhir penduduk suku Winatu justru terbanyak berada di di dusun Kangkuro desa Tomado.

Asal usul orang Winatu sendiri belum dapat dijelaskan secara pasti, tapi ada suatu cerita rakyat yang menceritakan tentang daerah pertama yang dihuni oleh suku Winatu.
anak-anak Winatu
  1. Dalam sebuah mitos dikisahkan tentang sebuah desa bernama desa Toro, tempat ini dahulunya dihuni oleh orang Winatu. Pada jaman dulu di tempat ini terdapat tiga pemukiman yang dihuni oleh orang Winatu. Ketiga pemukiman ini berada di atas gunung yang saling bersebelahan, yaitu di Kaumuku, Pobailoa dan Mungkulelio. Namun, ketiga pemukiman ini akhirnya hancur dan penduduknya tercerai berai ketika terjadi bencana alam banjir besar yang menenggelamkan daerah tersebut.

Masyarakat suku Winatu, pada umumnya telah hidup pada bidang pertanian. Beberapa tanaman telah ditanami mereka di sekitar pemukiman mereka. Padi, ubi dan jagung merupakan tanaman utama mereka. Selain itu mereka juga memanfaatkan hasil hutan seperti mengumpulkan rotan, damar, serta berburu binatang liar di saat tidak ada kegiatan. (http://protomalayans.blogspot.com)

SUKU UMA, PIPIKORO

 

pemukiman suku Uma Pipikoro
pic: citizenimages kompas
Suku Uma (Uma Pipikoro), adalah suatu komunitas adat masyarakat yang mendiami daerah di Pipikoro yang berada di daerah pegunungan di tepi sungai Koro kecamatan Kulawi kabupaten Donggala provinsi Sulawesi Tengah. Populasi suku Uma ini diperkirakan sebesar 28.000 orang pada sensus tahun 1999.

Sekelompok masyarakat suku Uma pada beberapa puluh tahun yang lalu bermigrasi ke Gimpu dan lembah Palolo, Palu dan Pani'i, kira-kira 120 km dari kota Palu dan juga bermukim di kabupaten Luwu provinsi Sulawesi Selatan. Sekelompok lain bermigrasi ke wilayah Sulawesi Selatan. suku Uma juga terdapat di kabupaten Luwu Sulawesi Tengah dan sebagian kecil di Benggalau Sulawesi Selatan.

klasifikasi: Austronesia, Malayo-Polynesia, Malayo-Polynesia, Sulawesi, Sulawesi Tengah, Barat Tengah, Kaili-Pamona, Kaili, Uma

Suku Uma ini digolongkan sebagai subfamili dari suku Kaili-Pamona. Suku Uma berbicara dalam bahasa Uma, yang memiliki beberapa dialek, tergantung wilayah pemukiman suku Uma, yaitu:
  • Winatu (Uma Utara)
  • Tobaku (Uma Barat, Dompa, Ompa)
  • Tolee (Uma Timur)
  • Kantewu (Uma Tengah)
  • Aria (Uma Selatan)
  • Benggaulu (Bingkolu)
  • Bana (Sulawesi Selatan)
gadis suku Uma
pic: joshuaproject
Suku Uma sebagian besar adalah pemeluk agama Kristen, terutama yang bermukim di wilayah Sulawesi Tengah, sedangkan yang bermukim di Sulawesi Selatan memeluk agama Islam.
Masyarakat suku Uma sebagian besar adalah sebagai petani. Mereka menanam beragam jenis tanaman, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Termasuk menanam padi di sawah dan beberapa tanaman keras lain. Beberapa hewan ternak juga menjadi pilihan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

ORANG MARENA


Orang Marena (To Marena), adalah suatu komunitas masyarakat yang terdapat di dusun Marena sebuah dusun jauh dari desa Bolapapu kecamatan Kulawi kabupaten Sigi provinsi Sulawesi Tengah. Populasi orang Marena lebih dari kurang lebih 250 orang.

orang Marena
Orang Marena saat ini banyak bermukim di desa O'o Parese sekitar 18 km dari desa Bolapapu. Di tempat ini mereka membuka kebun untuk lahan pertanian. Pada tahun 2007 pemerintah setempat memasukkan desa O'o Parese menjadi bagian kecamatan Kulawi Selatan. Tapi orang Marena menolak bergabung dengan kecamatan Kulawi Selatan, dikarenakan pada umumnya di kecamatan Kulawi Selatan dihuni oleh etnis Uma. Akhirnya orang Marena kembali ke desa Bolapapu kecamatan Kulawi yang beretnis Moma sebagai asal usul nenek moyang mereka walaupun untuk pelayanan administrasi sangat jauh.
Orang Marena memiliki sistem pemerintah adat sendiri, yaitu:
  • Maradika (Kepala Kampung), mengatur hubungan ngata (kampung) dengan ngata lain yang disebut ”Hintuwu Ngata”, Menentukan perang dengan ngata lain, tempat pengambilan keputusan terakhir.
  • Totua Ngata, mengatur dan mengawasi aturan adat yang disepakati dalam musyawarah, Memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat, menentukan besar kecilnya sanksi adat atas pelanggaran, memimpin sidang menyangkut penyelesaian perselisihan pada tingkat dusun atau kampung, mengatur pelaksanaan perkawinan adat serta menentukan besar kecilnya mas kawin menurut keturunan dari keluarga yang bersangkutan.

Orang Marena punya cara sendiri dalam mengelola wilayah kehidupannya. Mereka menyebut istilah wilayah kehidupannya dengan sebutan huaka. Jadi Huaka To Marena itu berarti wilayah kehidupan orang Marena. Sedangkan pengelolaan sumberdaya alam dalam bahasa local disebut katuvua. Terkait dengan huaka dan katuvua ini, orang Marena punya tata cara pembagian wilayah dan pemanfaatannya secara tradisional. Orang Marena membagi wilayah kehidupannya dalam beberapa kategori wilayah, antara lain: Wana Ngkiki, Wana, Pangale dan Oma.
  • Wana Ngkiki yaitu kawasan hutan yang terletak dipuncak-puncak gunung, bersuhu dingin, ditumbuhi lumut, jauh dari pemukiman dan tidak ada aktivitas manusia di dalamnya.
  • Wana yaitu hutan rimba yang luas dan tutupannya rapat. Pada tingkatan ini tidak ada aktivitas manusia untuk membuka ladang atau kebun, karena kalau dibuka menurut pengetahuan tradisionalnya dapat mengakibatkan bencana kekeringan karena Wana ini adalah hutan primer yang menyangga dan menjaga ketersedian air.
  • Pangale yaitu hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale termasuk kategori hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer karena sebagian sudah ada aktivitas manusia atau telah diolah menjadi ladang. Pangale dipersiapkan untuk kebun dan daerah datarannya untuk persawahan. 

    Pangale ini dimanfaatkan juga untuk: 
    • Mengambil kayu dan rotan yang digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga,
    • Pandan hutan dipergunakan untuk membuat tikar dan bakul,
    • Obat-obatan untuk perawatan kesehatan,
    • Wewangian
    • Umbut dan daun melinjo untuk sayuran.
  • Pahawa Pongko yaitu hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan yang berumur 25 tahun ke atas. Sudah hampir menyerupai hutan sekunder semi hutan primer (pangale), pohon-pohonnya sudah tumbuh besar. Karena itu kalau dibuka kembali menjadi ladang untuk menebangnya sudah harus menggunakan pongko (tempat menginjakan kaki yang terbuat dari kayu) yang agak tinggi dari tanah agar dapat menebang dengan baik sama seperti mopangale(membuka hutan pangale), agar dari tonggak pohon yang ditebang tadi diharapkan dapat tumbuh tunas kembali sehingga sesuai dengan namanya yaitu pahawa pongko. Pahawa artinya ganti, sedangkan pongko artinya tangga atau tempat menginjakkan kaki pada waktu menebang.
  • Oma yaitu hutan bekas ladang atau kebun yang sering diolah pada tingkatan ini disebut oma dimanfaatkan untuk menanam kopi, kakao dan tanaman tahunan lainnya. Berdasarkan umur dan pemanfaatannya tingkatan oma ini dibagi menjadi:
    • Oma Ntua
    • Oma Ngura
    • Oma Ngkuku
    • Oma Balingkea

Orang Marena mengelola alam secara bijaksana, tidak mengekspoitasi habis-habisan sumber hutan, tetapi tetap merawatnya. Mereka bertanggungjawab menjaga alam yang kelak akan diwariskan kepada keturunan-keturunannya.

Dalam masyarakat Marena memiliki penjaga kampung atau tondo boya yang berperan menjaga hutan Marena. Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat mereka maupun dari orang luar akan dikenakan sanksi adat.
Orang Marena mayoritas memeluk agama Kristen. Agama Kristen berkembang dengan baik di kalangan masyarakat Marena. Beberapa bangunan gereja berdiri di dekat sekolah dasar di Marena. 
Mereka memiliki Bantaya, yaitu semacam rumah tempat pertemuan, yang biasanya diadakan apabila ada acara pertemuan bagi warga kampung.

Belakangan ini beberapa wilayah hutan orang Marena ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat masuk dalam bagian kawasan Taman Nasional Lore Lindung. Hal ini membuat mereka semakin terdesak, karena sebagian besar dari mereka memanfaatkan hasil hutan.

Orang Marena pada dasarnya hidup pada bidang pertanian, mereka membuka lahan kebun untuk menanam padi ladang, jagung, kopi, kakao, kayu manis dan tanaman lainnya. Tanaman produksi yang paling utama bagi mereka adalah kakao. Sedangkan dari hutan mereka mengambil rotan dan kayu sebagai bahan bangunan atau yang mereka sebut sebagai ramuan rumah. (http://protomalayans.blogspot.com)

PAKAIAN ADAT DARI KULIT KAYU



PAKAIAN ADAT DARI KULIT KAYU
(Khas Etnik Kulawi di Sulawesi Tengah)

A. Pengertian dan Asal Usul

Benda yang berupa pemukul kulit kayu ditemukan pada penggalian di padang Tampeura Desa Langkeka Kecamatan Lore Selatan Kabupaten Poso, menunjukan bukti bahwa sejak zaman Prasejarah teknologi tradisional kain dari kulit kayu telah dimulai di daerah Sulawesi Tengah.
Sekarang, teknologi tradisional kain dari kulit kayu masih berkembang di masyarakat Sulawesi Tengah terutama pada etnik Kaili dan Kulawi. Teknologi tradisional ini digunakan untuk keperluan upacara adat yang berkaitan dengan religi dan kepercayaan.
Keragaman etnik di Sulawesi Tengah dapat dilihat dari pakaian, makanan khas, upacara sejak lahir hingga meninggal dunia, perumahan dan sebahagian dibedakan pula oleh bahasa (logat). Dari perbedaan itu, maka di Sulawesi Tengah terdapat 12 (dua belas) kelompok etnik (suku bangsa) yang tersebar di 9 (sembilan) Kab./Kota, yaitu; etnik Kaili, Tomini, Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Banggai, Saluan, Balantak, Tolitoli dan Buol. (Sumber : Masyhuda, H.M. Palu Meniti Zaman. Hal. 13-14. Palu : YKST. 2001)
Untuk kepentingan ini, dipilih etnik Kulawi sebagai pelaku teknologi tradisional kain dari kulit kayu yang dijadikan sebagai Pakaian Adat, berkaitan dengan religi dan kepercayaan.
Menurut Paulus Tampinongo (69 thn), mantan Penilik Kebudayaan Kandepdikbud Kecamatan Kulawi Propinsi Sulawesi Tengah, Senin (17/11/2003) menjelaskan, “Kalau kita melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Kulawi, pemakaian kain dari kulit kayu telah ada sejak manusia berada di Kulawi ini pada zaman Prasejarah”.
Lanjutnya, “ada pendapat beberapa ahli, misalnya Dr. Kruyt mengatakan bahwa suku Kulawi dikelompokkan dalam suku Toraja Barat. Sementara pendapat Drs. Indra B. Wumbu dan alm. Masyhuddin H. Masyhuda, mengelompokkan suku Kulawi ini adalah suku Kaili. Pendapat terakhir bahwa suku Kulawi adalah asimilasi perkawinan dari perpindahan penduduk secara besar-besaran di Gunung Momi. Ada yang lari ke arah barat melalui Hindia belakang, tembus ke Sumatra, Jawa kemudian Makassar. Ada yang lari ke Timur mulai dari Jepang, Filiphina, Sanger Talaud, Manado, Gorontalo kemudian Palu dan Poso. Jadi yang datang dari Utara dan datang dari Selatan melalui sungai Sa’dang terjadilah asimilasi perkawinan antara dua suku tersebut. Dari hasil perkawinan ini, itulah yang disebut suku Kulawi”.
Kesimpulannya adalah, “sejak zaman perpindahan secara besar-besar atau sebelum mereka datang, penduduk asli Kulawi telah memproses kulit kayu untuk dijadikan bahan pakaian yang disebut orang Kulawi pada umumnya, Nunu”.
Pada perkembangan selanjutnya, “untuk membedakan strata sosial masyarakat Kulawi dapat dilihat dari pemakaian busana bawahan wanita (rok). Kalau dalam pemakaian sehari-hari busana tersebut bersusun dua, sementara dalam pemakaian upacara adat ia dibuat bersusun tiga. Dari sini dapat dilihat strata sosial di masyarakat Kulawi”, ungkap sumber dikediamannya.¯

Untuk Lebih lengkap sebagai bahan Referensi silahkan kunjungi : http://ichsan70.blogspot.com/2010/09/pakaian-adat-dari-kulit-kayu.html

CERITA RAKYAT " TERBENTUKNYA DANAU LINDU"


Dikisahkan bahwa suatu hari kapal yang membawa Sawerigading sepulang dari perjalanan ke tanah China untuk mengawini tunangannya We Cudai berkunjung ke laut kaili. Saat itu di tanah kaili terdapat beberapa kerajaan lokal yang berdaulat mulai dari Banawa, Bangga hingga Sigi. Setelah berkunjung ke Ganti, ibu kota kerajaan Banawa, Sawerigading berlayar ke arah selatan menuju pantai negeri sigi-pulu, dalam wilayah kerajaan sigi. Perahu Sawerigading berlabuh dipantai Uwe mebere, yang sekarang ini bernama Ranaromba. 

Kerajaan sigi dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ngginayo atau Ngilinayo yang berparas cantik dan namun belum menikah. Sawerigading terpikat oleh kecantikannya dan langsung mengajukan pinangannya untuk menjadikannya permaisuri, untuk memenuhi permintaanya Ngginayo mensyaratkan agar ayam aduan sawerigading yang bernama Baka Cimpolong terlebih dahulu mengalahkan ayam aduan raja sigi yang bernama Calabai, syarat itu disetujui Sawerigading , sehingga disepakatilah suatu waktu untuk menggelar upacara adu ayam sekembali dari kunjungan sawerigading kepantai barat, sambil di persiapkan arena (wala-wala) adu ayam.

Dipantai barat perahu Sawerigading berlabuh dipantai kerajaan Bangga, yang dipimpin oleh raja Wambulangi seorang perempuan yang bergelar Magau Bangga.dengan magau Bangga Sawerigading mengikat perjanjian persahabatan.
Setelah kunjungan ke bangga Saweri Gading kembali ke Sigi. Dalam perjalanan itu Sawerigading singgah di sebuah pulau kecil Bugintanga (pulau tengah), untuk menambatkan perahunya ia menancapkan sebatang tonggak panjang (Tokong –bgs-) ketika meninggalkan pulau itu Sawerigading tidak mencabut Tonggak itu, sehingga bertumbuhlah dan sampai kini dipercaya oleh penduduk sebagai kebangga atau bululanga yang terletak di kampung kaleke.

Di Sigi persiapan pertarungan sudah diselesaikan, sebuah gelanggang (wala-wala) sudah di sediakan bagi baka cipolong dan calabai, para penduduk juga sudah mendengarkan dan bersiap untuk menyaksikan pertarungan yang akan digelar kesekan paginya, namun diluardugaan, satu malam sebelum upacara dimulai, tersiar kabar, yang mengharuskan pertarungan itu dibatalkan.

Anjing Sawerigading yang digelar La Bolong (si Hitam -bgs-) diam-diam turun dari perahu, untuk berjalan-jalan di dataran Sigi. Tanpa di sadarinya ia berjalan terlalu jauh ke selatan hingga kemudian terperangkap kedalam sebuah lubang yang besar tempat kediaman se ekor Lindu (belut) yang sangat besar. Karena merasa terganggu dengan kedatangan anjing La Bolong yang tiba-tiba itu maka si Lindu menjadi marah dan menyerang La Bolong sehingga terjadilah pertarungan yang amat sengit antara keduanya. Sedemikian dahsyatnya pertarungan itu sehingga seolah-olah menimbulkan gempa yang menggetarkan bumi, penduduk pun menjadi panik dan ketakutan dibuatnya. Pada satu kesempatan La Bolong berhasil menyergap Lindu itu dengan taring-taringnya, kemudian dengan cengkeraman mulutnya ia menyentakan dan menarik sang Lindu hingga tercabut dari lubangnya. Sejenak kemudian La Bolong menyeret dan melarikan belut yang meronta-ronta itu ke arah utara.

Sementara itu, lubang tempat tinggal Lindu yang telah menjadi kosong dengan cepat terisi air, Sehingga lama kelamaan menjadi penuh dan meluap-luap, menggenangi daerah sekitarnya sampai akhirnya membentuk sebuah danau yang saat ini dikenal sebagai danau Lindu.
Demikian riwayat danau Lindu yang dikutip dari legenda Sawerigading, sebagaimana penuturan Matulada dalam bukunya sejarah dan kebudayaan To Kaili. Dibandingkan dengan penuturan Paulus Tampilangi, salah seorang tokoh Lindu pada tahun 2001, mitos pembentukan danau Lindu sedikit berbeda, meskipun alur ceritanya memiliki beberapa kemiripan sbb,

Di kisahkan, pada jaman dahulu kala dataran disekitar Lindu belum menjadi tempat tinggal manusia karena pada umumnya masyarakat pada saat itu memilih untuk tinggal di lereng-lereng gunung, maupun punggung-punggung bukit dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar-pencar, di Lantawongu, Katapia, Watureo, Sindimalei Lindu Tongoa dan Sandipo.
Beberapa jarak dibawah kaki gunung mapun bukit-bukit itu terdapat dataran, yang digenangi air sehingga membentuklah suatu rawa yang sangat luas. Di rawa itu hidup seekor Lindu atau belut yang sangat besar ukurannya. Selain besar Lindu, dikisahkan bahwa Lindu itu sangat buas. Ia menyerang dan memangsa hewan apa saja bahkan manusia yang dijumpainya disekitar rawa. Itulah sebab tidak seorangpun yang masyarakat pada saat itu yang berani datang apalagi bermukim tepian rawa.

Lindu itu hidup bak raja di daerah rawa yang maha luas itu, tidak henti-hentinya ia memangsai hewan-hewan hutan yang datang untuk minum dipinggiran rawa, tidak jarang manusia yang tersesat kedaerah rawapun dijadikannya santapannya, sehingga lama kelamaan jumlah anggota masyarakat yang menjadi mangsa Lindu menjadi banyak dan terus menerus bertambah banyak, sehingga mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat Lindu.
Keresahan yang menumpuk mulai menimbulkan ketakutan yang menghantui seluruh masyarakat pada saat itu. Keadaan ini mendorong totua maradika, ngata dan todea berkumpulah di suatu tempat untuk menyelenggarakan musyawarah (Mo Libu), dalam musyawarah itu para tokoh merundingkan cara untuk membunuh Lindu yang jahat itu.

Dikisahkan bahwa jalannya musyawarah berlangsung alot, silang pandapat terjadi antara para tokoh yang menghendaki agar setiap pemukiman mengirimkan sepuluh orang terkuatnya untuk membunuh lindu itu dengan para Tokoh yang mengusulkan untuk meminta bantuan ke keluarga mereka di Kerajaan Sigi, dengan pertimbangan hamparan rawa sangat luas bagi mereka, sehingga akan sulit untuk mengetahui dimana tepatnya lindu berada. Apalagi Lindu selalu berpindah dari satu tempat ketempat dalam mencari mangsanya, sehingga usul untuk meminta bantuan kesigilah yang diterima. Para pemuka bahwa percaya bantuan dari Kerajaan Sigi akan cepat menyelesaikan masalah.

Kerajaan Sigi pada waktu itu dipimpin oleh seorang raja perempuan yang bernama Bunga Manila , seorang raja yang terkeanl arif dan bijaksana, konon kabarnya ratu Bunga manila merupakan penjelmaan daun “tovavako”. Para pemuka di Lindu mengira saat itu Bunga Manila memiliki anjing pemburu yang terkenal berani, tangkas, kuat dan ganas yang bernama Liliwana atau penjelajah rimba. Menyusul keputusan itu, diberangkatkanlah beberapa orang menyampaikan ke kerajaan Sigi.

Di kerajaan Sigi, Ratu Bunga Manila, merasa sedih dan terharu begitu mengetahui kemalangan yang menimpa suadara-saudaranya di Lindu. Terlebih lagi ketika ia mengetahui maksud kedatangan keluarganya dari Lindu untuk memintai bantuannya mengirimkan Liliwana untuk menumpas sang Lindu, sementara ia tidak pernah memiliki anjing pemburu seperti dimaksudkan masyarakat Lindu itu.
Akan tetapi untung sekali, beberapa orang disekitar istana Bunga Manila yang turut mendengarkan percakapan itu mengaku pernah mendengar dan mengetahui perihal anjing perkasa yang bernama Liliwana itu. Disampaikannya Liliwana adalah anjing milik seorang raja di dari kerajaan Luwu di Sulawesi bagian Selatan. Mendengarkan hal ini Ratu Bunga Manila segera mengirimkan utusan ke kerajaan Luwu hal ini dilakukannya demi membantu saudara-saudaranya di Lindu.

Pada saat itu antara kerajaan sigi dengan kerajaan Luwu berikut kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi selatan telah terjalin hubungan yang baik. Hubungan itu antara lain terjalin melalui kerjasama di bidang perdagangan. Sebelum memberangkatkan utusannya Raja Sigi terlebih dahulu menyampaikan bahwa di selatan terdapat enam buah kerajaan, yang di ilustrasikan dengan ; “Payung ri Wulu, Somba ri Gua, Mangkau ri Bone, Datu ri Sopeng, Ade ri Sidrap dan Aung ri Wajo”.

Penyampaian ini dilakukan Raja Sigi agar supaya para utusan nantinya dapat menyampaikan pesan dengan baik-baik, santun dan berhati-hati, karena mereka akan berhadapan dengan raja-raja yang arif. Setelah memperoleh wejangan, berangkatlah utusan Raja Sigi yang terdiri dari tujuh orang. Dalam perjalanannya ke tujuh utusan pertama-tama menuju ke kerajaan Luwu. Di kerajaan ini para Utusan diterima dengan baik sekali, oleh Payung ri Wulu, mereka dijamu dengan baik mengingat hubungan yang baik antara kerajaan Sigi dan Luwu. Setelah melewati perjamuan di lingkungan istana, Payung ri Luwu memanggil utusan dari Raja Sigi itu untuk membicarakan maksud kedatangan mereka, ia menayakan berita apa yang hendak disampaikan oleh Raja Sigi kepadanya. Salah seorang utusan kemudian menceritakan apa yang terjadi dengan saudara mereka di Lindu sekaligus menyatakan maksud raja Sigi untuk meminjam Liliwana, anjaing pemburu yang kabarnya merupakan peliharaan Raja Luwu.

Raja Luwu membenarkan berita itu, ia juga bersedia meminjamkan Liliwana kepada Raja Sigi, demi persahabatan yang sudah terjalin, sembari berpesan agar anjing pemburu itu diperlakukan sebaik-baiknya, seperti halnya memperlakukan anak sendiri.
Singkat cerita, utusan Raja Sigi segera pulang. Karena keadaan yang sangat mendesak lama waktu perjalanan dari Luwu ke Sigi yang biasa ditempuh selama tujuh hari dapat di lalui dalam satu hari. Setibanya di Sigi, Liliwana diistirahatkan dua hari, setelah itu barulah si anjing pemburu yang perkasa meneruskan perjalanan ke dataran Lindu. Tiba di Lindu, anjing pemburu yang gagah berani ini tidak menyia-nyiakan waktu, dengan indera penciumannya yang tajam, ia segera melacak keberadaan si Lindu. Dalam waktu yang singkat Liliwana segera menemukan buruannya, sejenak kemudian terjadilah pertarungan yang seru antara Liliwana dan Lindu. Dalam perkelahian yang sengit itu kedua hewan saling menyerang, menggigit dan bergumul. Suatu waktu Liliwana terlilit dan berada di bawah, tetapi disaat yang lain, Lindu yang berada di bawah. Demikianlah terjadi berulang kali dalam waktu yang lama.

Pertarungan antara Lindu dan Liliwana disaksikan oleh masyarakat yang dari tujuh pemukiman yang berada di perbukitan dan pegunungan disekeliling rawa. Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan perasaan was-was dan khawatir, tidak sedikit yang meneteskan air mata karena tegangnya, mereka sangat khawatir kalau-kalau Liliwana tidak dapat mengalahkan si Lindu, karena dapat dibayangkan bagaimana akibatnya bila ternyata sang Lindu keluar sebagai pemenang.
Namun untunglah, pada suatu kesempatan Liliwana berhasil menggigit kepala Lindu itu dengan kuatnya, taring-taringnya yang tajam menghunjam kedalam daging hingga tengkorak Lindu, dan mencengkeramnya dengan kuat. Si Lindu menggelatarkan badannya yang besar, meronta-ronta, sambil memukul-mukulkan badannya mengipasi tumbuhan dan pepohonan yang ada dipermukaan rawa yang berlumpur, namun cengkeraman Liliwana terlalu kuat, sehingga ia tak kuasa meloloskan diri, sehingga lama kelamaan Lindu menjadi lemah dan akhirnya menemui ajalnya. Liliwana keluar sebagai pemenang.

Kemenangan Liliwana disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh penduduk lindu mereka bersorak dan bersyukur, sambil mengucapkan terima kasih didalam hati kepada Liliwana, anjing pemburu yang perkasa.
Sejak itu, masyarakat Lindu menguak lembaran baru dalam hidupnya, mereka mulai membuka pemukiman baru di sekitar rawa, diatas tanah-tanah yang landai, diseputar rawa, tanpa ada rasa takut terhadap serangan Lindu. Ditempat ini mereka dapat mencetak sawah dan membuka perkebunan yang luas. Apalagi tanah disekitar rawa merupakan tanah yang subur, karena di bentuk melalui pelapisan humus yang dibawa aliran sungai yang berhulu di gunung-gunung disekelilingnya.

Sementara itu, akibat pertarungan yang maha dahsyat antara Lindu dan Liliwana, permukaan rawa yang luas menjadi terkuak, membentuk sebidang danau yang besar. Orang-orang yang tinggal di sekitarnya menamakannya sebagai Rano Lindu atau Danau Lindu.
Meskipun mengandung beberapa perbedaan, namun pada intinya kedua versi cerita rakyat diatas meyakini bahwa pembentukan danau Lindu, diawali dengan terjadinya pertarungan antara seekor Lindu dengan se ekor anjing pemburu.

Jika dikaitkan secara ilmiah menurut Whitten (1987) yang menghubungkan dengan analisa binatang moluska, menyatakan bahwa Danau Lindu terbentuk pada masa kira-kira antara 5 sampai 1.6 juta tahun yang lalu. Cerita versi kedua lebih mendekati nyata.
Kedua riwayat juga mengkaitkan riwayat pembentukan danau Lindu dengan kerajaan sigi dan bangsawan-bangsawan dari sulawesi selatan, yaitu Sawerigading dari Bone dan Payung Ri Luwu dari kerajaan Luwu, melalui intermediasi raja perempuan Sigi. Keterkaitan itu dijalinkan melalui kepemilikan mereka terhadap anjing pemburu yang perkasa (Liliwana versi Tampilangi atau La Bolong versi Matulada).

Sawerigading adalah tokoh legendaris dalam cerita rakyat tanah kaili. Tokoh ini dihubungkan dengan kedudukan kerajaan Bone, sebagai kerajaan bugis di Sulawesi selatan yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan kerajaan-kerajaan di tanah kaili. Dapat diperkirakan bahwa hubungan-hubungan yang akrab antara kerjaan Bone dengan kerajaan-kerajaan di Tana kaili berlangsung pada abad ke-17. adapun tokoh sawerigading di sulawesi selatan tersebut terdapat dalam epos la-galigo, dipandang sebagai peletak dasar dan cikal bakal raja-raja bugis, khusunya dikerajaan Luwu yang terletak di sebelah utara kerajaan Bone. (Matulada, 1976, et al.,)
Menurut Matulada (et al.,) ada beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai alat identifikasi etnologis, untuk suatu kelompok manusia dalam suatu komunitas tertentu untuk membedakannya dari kelompok-kelompok lainnya. Biasanya digunakan beberapa kedaan khusus dari kelompok itu sebagai alat identifikasi yang dimaksud seperti ; dialek, ciri kebudayaan, nama tempat, keadaan alam tertentu dan sebagainya, keadaan itulah yang kemudian menjadi identitas atau sebutannya.

Matulada (et al.,) juga mencontohkan bentuk pengelompokan yang dimaksud, misalnya berdasarkan bahasa, terdapat sebutan orang bugis atau orang jawa, kepada suatu kaum dikarenakan mereka berbahasa bugis maupun bahasa jawa; demikian halnya, berdasarkan dialeknya, sebagaimana Adriani dan Kruijt dalam Matulada (et al.,) mengelompokan dialek-dialek dalam kalangan yang disebutnya Toraja, dengan menggunakan kata sangkal seperti ; tae, rai, ledo, daá dan lain-lain. Selajutnya, berdasarkan ciri kebudayaan yang melekat pada suatu kaum Matulada, mencontohkan penamaan yang terjadi pada “to panambe” , yaitu masyarakat yang bermata pencaharian hidup dengan menggunakan alat penangkap ikan yang disebut “panambe”, sedangkan untuk suatu kelompok atau kaum yang diidentifikasikan menurut nama tempatnya, dicontohkan To Palu, To (ri) palu, ialah orang atau kaum yang bermukim di palu.

Menggunakan pendekatan serupa itu, nampaknya identifikasi atau sebutan bagi Toi Lindu didasarkan pada nama tempat mereka bermukim saat ini, yaitu dataran di sekitar danau Lindu, sehingga masyarakat yang bermukim disekelilingnya di kenal sebagai To Lindu atau orang yang bermukim di dataran Lindu.
To Lindu, merupakan sub kultur atau sub etnik Kaili. Matulada, 1976 mengelompokan beberapa kelompok etnis yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari etnis Kaili, yang dalam pernyataan-pernyataan kulturalnya saat itu dapat disebut sesuai dengan nama tempat pemukimannya. Sebagai berikut ; 1) To palu, 2) To Biromaru, 3) To Dolo, 4) To Sigi, 5) To Pakuli, To Bangga, To Baluase, To Sibalaya, To Sidondo, 6) To Lindu, 7) To Banggakoro, 8. To Tamungkulowi dan To Baku, 9) To Kulawi, 10) To Tawaeli, 11) To Susu, To Balinggi, To Dolago, 12) To Petimpe 13) To Raranggonau, 14) To Parigi.
Matulada mengakui bahwa dalam kalangan sub etnik tersebut acapkali terjadi penggolongan yang lebih kecil lagi, dengan ciri-ciri khusus, yang kelihatannya lebih dekat kepada kelompok kekerabatan, yang menunjukan sifat satuan geneologisnya. Kekhususan yang dimaksud dapat pula meliputi ceritera asal usul maupun dialek, yang merupakan pernyataan kulturalnya.
danau-linduHal demikian dapat dijumpai pada To Lindu. untuk menegaskan identitasnya, To Lindu memiliki sejumlah cerita rakyat (Folk Tale), mitos, tokoh-tokoh legendaris yang menjadi suatu pengikat solidaritas bagi anggota masyarakat yang terhisap kedalam sub etnis Lindu.
Bahasa To Lindu digunakan To Lindu berdialek Tado. Dialek ini merupakan salah satu jenis dialek yang tergolong delam rumpun bahasa kaili sebagaimana Unde, Ledo, Tara, Daá dan lain-lain. Penggunaan dialeg ini juga membedakan To Lindu dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya dalam rumpun kaili, termasuk To Kulawi yang berbahasa Uma maupun Moma maupun Ompa. Dibandingkan dengan Pemakaian dialek lain dalam rumpun bahasa kaili, pemakaian dialek Tado kemungkinan merupakan populasi terkecil. Selain To Lindu, komunitas asli Sinduru di Desa Tuva, juga mengklaim diri sebagai pengguna dialek ini, meskipun dengan sedikit varian. Mereka menyebut dialek mereka sebagai dialek “Tado Mbei” , dalam cerita mengenai asal-usulnya, masyarakat Sinduru di Tuva, mengakui bahwa leluhur mereka dulunya berasal dari dataran Lindu, yang bermigrasi ke daerah barat dan membuka pemukiman pertamanya di Oda vatu, suatu tempat yang terletak di sebelah timur desa Tuva kecamatan Gumbasa saat ini.

To lindu juga memiliki sejumlah cerita rakyat maupun mitos mengenai asal-usul mereka, maupun legeda-legenda mengenai ketokohan leluhur mereka, yang selain menimbulkan kebanggan pada diri mereka sebagai bagian dari To Lindu, juga menjadi pengikat solidaritas. Oleh Paul Cohen (2001, et al.,) menekankan bahwa mitos Mitos ini bukan berarti sesuatu yang salah atau tidak nyata. Sejarah sebagai mitos dimaksudkan sebagai sejarah yang dipakai untuk justifikasi tindakan masa kini. 

http://inamuse.wordpress.com/2009/03/06/kisah-terjadinya-danau-lindu/