Kees van Der Spek diburu
kepolisian! Demikian tersiar berita dari media massa. Pasal yang
disangkakan kepada bule Belanda ini adalah menyuap aparat polisi di
Bali, sebagaimana heboh videonya di Youtube. Arah demikian sempat
menghangat pada awal-awal video ini menghebohkan publik.
Hal ini barangkali tak terlepas dari pernyataan Kapolda Bali Irjen Pol
Arif Wachyunadi di televisi. Sang Kapolda menyatakan, intinya, penyuap
dan penerima suap akan diusut. Pernyataan ini mengacu pada pemberian
uang Rp200 ribu oleh Kees pada oknum polisi di Bali tersebut. Baru
belakangan ini saja tak terdengar lagi pernyataan pihak kepolisian RI
akan mencari Kees.
Apakah
mungkin masyarakat mau sukarela memberi uang kepada aparat negara?
Terutama dalam kasus seperti dialami Kees, jika tak diminta oleh aparat,
atau aparatnya langsung jatuhkan tilang tanpa membuka celah transaksi.
Berangkat dari contoh kasus begini barangkali sudah waktunya pasal
penyuapan dikaji kembali. Kapan perlu direvisi atau didelete. Selanjutnya
yang ada hanya pasal pemerasan. Dalam kasus Kees, misalnya, pasal yang
tepat adalah pemerasan.
Dengan menyisakan pasal pemerasan maka selanjutnya hanya aparat negara
yang dihukum terkait transaksi pemberian uang dalam jabatan oleh warga
atau siapapun. Mengapa logika ini dipakai adalah karena pengambil
keputusan terkait jabatan adalah aparat ybs. Kuncinya di aparat.
Tidak akan ada transaksi suap jika aparat negara menolak segala
pemberian warga. Karena itu, diputus sedemikian rupa rantai penyimpangan
dari aparatnya. Tidak memberikan beban secara sama dalam delik
penyuapan, dimana pemberi dan penerima suap sama-sama dihukum, seperti
saat ini.
Dengan demikian titik fokus aturan hukum terkait tindak pidana dalam
jabatan dibebankan sepenuhnya pada pejabat atau aparatus itu sendiri.
Tidak menyebar pada warga seperti saat ini. (YM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar